Babad Cerbon (1)

(1) Genealogi Naskah-Naskah Babad Cerbon

Bismillaahirrahmaanirrahiim.

Transkripsi ngaji Jawa Pegon yang diampu oleh pak Ahmad Baso dengan penyesuaian (editan) dari penulis.

18 September 2021

Gambar berikut tidak memiliki atribut alt; nama berkasnya adalah image-9.png
Pemetaan perjalanan naskah Babad Cirebon ala pak Ahmad Baso

Pemetaan naskah di atas bercerita tentang riwayat perjalanan Babad Cirebon dari riwayat Mawlana Hasanuddin yang merupakan penerima riwayat pertama tentang para wali dari bapaknya, Sunan Gunung Djati. Jejaringnya Sunan Gunung Djati dan Mawlana Hasanuddin ada di Demak, Bali, Banjar, Gresik, Giri, dan juga jaringan Pasai. Jaringan Pasai masuk lewat Giri. Naskah Banten ini yang kemudian memunculkan satu buku yang kemudian menurunkan beberapa naskah pada abad ke 16, 17, dan 18, yang lalu melahirkan versi melayu tahun 1818, dan kemudian masuk ke Leiden. Ada versi Pegon dan Hanacarakanya juga. Kemudian, naskah tersebut menurunkan sampai naskah abad ke-18, yaitu naskah J (inventaris K. F. Holle), K (Pegon, Banten), dan L. Naskah J inilah yang menurunkan naskah yang ada pada koleksi naskah Cirebon, yaitu Cs 114/ Cs 105 tahun 1869, yang tersimpan di PNRI (Khastara).

Babad Cerban Cs 105, Jawa Hanacaraka
Gambar berikut tidak memiliki atribut alt; nama berkasnya adalah image-14.png
Br 69, berbahasa Jawa beraksara Hanacaraka

Naskah Babad Cerbon Br 107 — naskah Babad Cirebon yang isinya singkat — termasuk yang tiga jilid (75 a, b, dan c) Pegon, lahir dari proses ini.

Br 107
Br 75a

Sekarang kita kembali kepada pemetaan sebaran naskah-naskah Babad Cerbon.

Gambar berikut tidak memiliki atribut alt; nama berkasnya adalah image-9.png

Naskah Y (sisi sebelah kanan), merupakan hasil tafsir dari para penulis keraton-keraton Cirebon yang berasal dari keturunan Sultan Mawlana Hasanuddin atas naskah-naskah babon yang ada pada naskah X (Banten), N (Pegon salinan dari M), J (K. F. Holle), Cs 114/ CS 105, K, A, L, O, dan B (LOr 7388, 1906), termasuk penuturan bahan dari Bali, Gresik, Demak, juga Ampel. Naskah Y tersebut menurunkan 3 naskah pegon Br 75a-e, yang merupakan satu data tersendiri dari lingkungan keraton Cirebon. Sanadnya tersebar ke mana-mana, sehingga untuk naskah Y (Cirebon), kita tidak punya silsilah keturunan terkait Sunan Gunung Djati seperti yang disebut dalam naskah X (Banten). Naskahnya terpecah-pecah, sehingga harus dikumpulkan satu-satu untuk menemukan silsilahnya. Beruntung, ada satu penerbitan naskah dari PNRI tentang silsilah tersebut, yang disalin kembali pada naskah Cs 114, yang dituliskan pada tahun 1869 dan baru diterbitkan oleh PNRI pada tahun 2018. Jalur silsilahnya diperoleh dari Pangeran Pasarean, putra Sunan Gunung Djati, yang lalu menurunkan Panembahan Ratu, dst.

Naskah Banten yang tertua tersebut (X), merupakan jalurnya Mawlana Hasanuddin. Jadi kalau kita lihat pesebaran Pegon — semua babon naskah Babad Cirebon dalam bentuk Pegon — maka darimana asalnya Pegon, kalau begitu?

Isi Cs 114 (Pegon) dan Cs 105 (Jawa) yang sama

Naskah babon yang berasal dari riwayat Mawlana Hasanuddin mengisahkan kehidupan beliau pada masa kehidupan bapaknya, dan beliau merekam peristiwa yang terjadi antara bapaknya dengan para wali, baik yang ada di Cirebon maupun yang ada di Demak. Isi kedua naskah sama, tidak ada perubahan, termasuk versi Melayu yang ditulis pada tahun 1818, diambil dari babon Mawlana Hasanuddin. Lalu, ada lagi babon yang berasal dari jaringan Giri, Gresik yang juga menggunakan Pegon. Pada waktu itu, Giri dan Cirebon merupakan pusat-pusat penyalinan naskah-naskah Pegon, selain tentunya ada naskah-naskah Jawa yang berasal dari pesisir, seperti naskah yang ditulis oleh Sunan Bonang pada tahun 1550.

Naskah yang ditulis oleh Pangeran Bonang OR 1928 dan didigitalisasi oleh Universiteit Leiden. Berbahasa Jawa beraksara Hanacaraka. Berisikan tentang teologi dan mistisisme pada jalan Nabi Muhammad saw.

Darimana Pegon yang berasal dari naskah Babad Cirebon?

Di Demak pada abad ke-19, ada koin Pegon dari akhir abad ke-15, tertulis Pangeran Demak. Sekarang tersimpan di museum uang/ koin di Medan.

Hal ini menunjukkan, bahwa aksara Pegon yang tertulis di koin, merupakan aksara resminya Demak, sehingga merupakan hal wajar saat kesultanan Banten maupun Cirebon juga menggunakan Pegon sebagai aksara resmi masa kesultanan keduanya, selain belakangan juga menggunakan hanacaraka.

Beberapa contoh naskah Jawa Hanacaraka di Keraton Kasepuhan, Cirebon. Gambar diambil, barangkali pada saat kunjungan ke Cirebon tahun 2018-2019, lupa-lupa ingat.

Di bawah ini adalah naskah Cs 114 tahun 1869 yang merupakan salinan dari naskah Mawlana Hasanuddin. Halaman-halaman awalnya tidak terbaca sama sekali, lalu berikutnya ada halaman yang bisa terbaca sebagian hingga halaman yang memang bisa dibaca. Selain silsilah terkait keturunan Sunan Gunung Djati, juga berisikan periwayatan hadits. Sayangnya, babonnya tidak diketahui berada di mana.

Gambar berikut tidak memiliki atribut alt; nama berkasnya adalah image-10.png
Cs 114
Gambar berikut tidak memiliki atribut alt; nama berkasnya adalah image-11.png
Cs 114
Gambar berikut tidak memiliki atribut alt; nama berkasnya adalah image-12.png
Cs 114
Cs 114

Isinya:

Bismillaahirrahmaanirrahiim. Punika agaduh (naskah ini yang punya pertama adalah) Mawlana Hasanuddin. Naskah ini pemilik yang punya pertama adalah Mawlana Hasanuddin katimbal dateung (kemudian beralih ke bawah kepada) Mawlana Yusuf. Katimbal dateng Pangeran Aryo Rono Manggala. (Aryo rono adalah cucu dari Mawlana Hasanuddin). Katimbal dateng Sultan Abdul Mafakhir, katimbal dateng Pangeran Aryo Manduro Radiyo. (Pangeran Aryo Manduro Radiyo adalah menantu dari Sultan Abdul Mafakhir.  Nama-nama tersebut disebutkan dalam disertasinya Husein Djoyodiningrat tahun 19…) Katimbal dateng Ratu Bagus (Banten itu banyak menggunakan gelar bangsan Bagus. Ratu Bagus Aryo Wirat Madyo. Ini cucu dari sultan abdul mafakhir). Katimbal dateng Pangeran Aryo Wirasmoro. Katimbal dateng Pangeran Ardi. (Ini juga keturunan Sultan Abdul Mafakhir). Katimbal dateng Ratu Bagus Muhammad Shalih. (Muhammad shalih adalah pemilik terakhir dari naskah. Wafat 1720 an, berarti dalam situasi sebelum ada geger di Banten, perang dengan kompeni). Kang mugo sami sinungan (diberkati, yang memperoleh) Rahmat dening Allah ta’ala. Kata sinungan lazim ditemui dalam naskah, dan jarang ditemukan dalam keseharian.”

Naskah yang dipergunakan oleh Husen Djoyodiningrat juga hanacaraka. Hanya saja, menurut beliau, yang lebih dihormati oleh orang Banten adalah versi Pegon. Namun Husen justru menyatakan, bahwa yang tua adalah hanacaraka. Namun dari koin, huruf Pegon juga dipakai. Kalau Demak sudah menjadikan Pegon sebagai aksara resmi, maka berarti naskah Mawlana Hasanuddin juga merupakan naskah tua. Pegon sebagai bahan penulisan/ aksara resmi yang dipakai oleh penulis-penulis keraton dalam menulis.

Berdasarkan info yang dikutip oleh pak Wahid, seorang sejarawan ugm, bahwa naskah — bukan koin — bahwa naskah Bahrul Lahut berbahasa Jawi Melayu, berasal dari Pasai. Bahrul Lahut naskahnya lebih tua daripada naskah Pegon, karena Pasai merupakan tempat berguru para ulama Nusantara terdahulu.

Contoh lain naskah dari Pasai, yaitu Hikayat Pasai, yang berasal dari abad ke-14. Deskripsi naskah bisa dilihat di dalam https://wordpress.com/post/dwiafrianti.home.blog/174. Bahasanya masih bahasa model lama. Bukti-bukti filologis dari zamannya, ini abad ke-13-14. Naskah ini seangkatan dengan Barul Lahut. Di dalamnya tersebut tokoh sufinya, yaitu Syekh Arifin atau Syekh Arif. Sedangkan yang menggunakan sebutan Syekh Arifin adalah Syekh Ibrahim Asmoro, bapaknya Sunan Ampel. Hal ini berarti, jaringanannya ke Pasai. Syekh Ibrahim Asmoro lahir di Pasai. Kita bisa melacak nama Syekh Ibrahim, juga di Babad Cerbon dari Mawlana Hasanuddin.

Naskah Barul Lahut memang lebih tua daripada Babad Cerbon Cs 114. Sunan Bonang dan Sunan Giri memang berguru di Pasai, tetapi di dalam naskah tidak disebutkan, apakah mereka mengaji Bahrul Lahut. Hanya saja disebutkan, bahwa keduanya masih muda, mereka mengaji di Pasai.

Kalau cerita tentang para wali, maka naskah Babad Cerbon Cs 114 lebih tua dibandingkan naskah Babad Cerbon lainnya, karena sanadnya dari Mawlana Hasanuddin.

Sultan Mawlana Hasanuddin seangkatan dengan Sunan Giri kedua, sekitar tahun 1570 an. Juga seangkatan dengan Sultan Trenggono, anak Raden patah, di Demak. Diceritakan di dalam naskah tersebut pengalamannya dengan Sultan Trenggono. Sultan Mawlana Hasanuddin bercerita tentang Sunan Bonang dan Kalijogo yang ketika itu berguru kepada bapaknya.  Naskah tersebut tidak memperbincangkan peristiwa sebelum masa Sultan Trenggono, sehingga tidak ketahuan apa yang terjadi di Demak sebelum masa Sultan Trenggono. Maulana Hasanuddin tidak tahu kejadian di Demak dan Gresik, karena tidak mempunyai sanad ke sana, termasuk Giri. Apa yang terjadi di Ampel, didapatkan dari bapaknya, karena Sunan Gunung Djati berguru ke Ampel. Mawlana  Hasanuddin tidak ke Ampel, tetapi bapaknya. Maka muncullah naskah yang ditulis oleh Sunan Ampel.

Bagaimana kita tahu ini naskah Cs 114 adalah naskah tertua? Yaitu karena disebutkannya nama Sunan ampel. Kita ambil satu jaringan yang ada pada era itu. Ada juga jaringan Banjar Melayu di Kalimantan Selatan.

Naskah itu disalin pada tahun 1818 dari banonnya yang Pegon. Jadi, ada babon yang keturunan dari Ratu Bagus Muhammad Shalih sebgaai pemilik terakhir yang disebutkan dalam naskah. Penyebutan Sunan Ampel, terdapat di dalam naskah melayu Hikayat Banjar. Hikayat Banjar penting untuk mengetahui benar tua atau tidaknya naksah ini, karena merupakan jaringannya. Hikayat Banjar Bisa kita dapat di British Library https://www.bl.uk/

Gambar berikut tidak memiliki atribut alt; nama berkasnya adalah image-28.png

— Bersambung —

Naskah bisa didonlot di sini:
1. Babad Cerbon Cs 114, Pegon
https://khastara.perpusnas.go.id/landing/detail/361863

2. Babad Cerbon Br 69, Jawa

https://khastara.perpusnas.go.id/landing/detail/105714

3. Babad Cerbon Br. 75a – e, Pegon

https://khastara.perpusnas.go.id/landing/detail/1093608

4. Babad Cerbon Cs 105 hal. 1 (dst halaman bisa searching sendiri, ya…)
https://opac.perpusnas.go.id/uploaded_files/dokumen_isi3/Bentuk%20Mikro/CS105_Babad_Cerbon_061-090_001.pdf

4. Pangeran Bonang
https://digitalcollections.universiteitleiden.nl/view/item/1576531?solr_nav%5Bid%5D=8172e6efa12f4a994092&solr_nav%5Bpage%5D=0&solr_nav%5Boffset%5D=0#page/7/mode/1up




Iklan
Kategori:

1 Comment

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s