Asal Muasal Kejawen

Pada tahun 1749 M, pada masa pemerintahan Pakubuwono III (1749 – 1788 M) sebagai Raja Kasunanan Surakarta, Mangkubumi menyatakan diri sebagai raja di Yogyakarta dengan gelar Hamengkubuwono I (1749 – 1792 M). Kehidupan Kasunanan Kartasura yang dimulai dari Mataram akhir hingga keterpecahan menjadi dua daerah besar, yaitu Kasunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta, diikuti dengan dua anak kerajaan kecil yang penting, yaitu Mangkunegaran (1757) dan Pakualam (1812), ternyata tidak hanya dipenuhi oleh kekacauan politik dalam negeri sendiri, melainkan ada upaya pemulihan dalam negeri dengan melanjutkan upaya pendamaian antara tradisi Jawa dan syariat Islam, sehingga melahirkan apa yang dinamakan sebagai sintesis mistik atau kejawen.

Perumusan kejawen merupakan hasil rembukan dari 4 keraton: surakarta, yogyakarta, pakualam, dan mangkunegaran, dengan merujuk kpada kitab berjudul al-Tuhfah al-Mursala ila Ruh al-Nabi yang berarti Anugrah yang ditujukan kepada Ruh Sang nabi, yang ditulis oleh Muhammad ibn Fadli’lah al-Burhanpuri, sufi asal India.

Berikut Tiga Pilar Utama Kejawen:

1. Suatu kesadaran identitas islami yang kuat. Menjadi Jawa berarti menjadi Muslim.

2. Pelaksanaan lima rukun Islam, yaitu mengucapkan syahadat, shalat lima waktu, membayar zakat, berpuasa Ramadhan, dan naik haji bila mampu.

3. Menerima realitas kekuatan spiritualitas Jawa seperti ratu Roro Kidul, Sunan lawu, dan lain sebagainya.

Konsep Martabat Tujuh (manunggaling kawula lan gusti) dijelaskan melalui khazanah Hindu tentang hubungan Wisnhu dengan Khrisna. Seni lama seperti pendalangan dikembangkan, yang sebagian besar ceritanya diambil dari kisah Hindu. Pada masa ini, pemeluk agama Islam sangat patuh kepada agama Islam. Semuanya dilakukan dalam kesadaran tinggi sebagai orang Islam, baik dari kalangan petinggi hingga masyarakat luas. Tiga pilar sebenar dilaksanakan, hingga naik haji menjadi hal yang lazim di masyarakat.

Dimulai pada masa Pakubuwono III ini juga, mulai berkembang pesat penulisan teks-teks Islam berkonsepkan manunggaling kawula lan gusti dengan penokohan India, seperti Serat Arjuna Wiwaha, Serat Jatiswara, Serat Bima Suci Serat Dewa Ruci yang ditulis ulang oleh Yosodipuro I, dan penggunaan tokoh Islam seperti Serat Syeh Malaya yang ditulis oleh Iman Anom pada tahun 1864 M. Lalu berlanjut dengan serat-serat yang memadu syariat dan hakikat seperti Serat Centhini yang banyak merujuk pada kitab-kitab karya Abi al-Qasim Abdul Karim bin Muhammad, Qadi Abu Suja’, Ringkasan Fiqh Imam Syafe’I, Ibnu Hajr al-Haitami, dan Asmarakandi dalam bidang Teologi.

Referensi:

Mengislamkan Jawa, M. C. Ricklefs

Dll. lupa

Iklan

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s