Sultan Agung, raja Mataram Islam ke-3 (1613-1646 M), bertempat di Kota Gede, berhasil menyatukan kerajaan dengan tradisi-tradisi Islam. Terdapat hubungan ruhani (mistis) yang erat antara Sultan Agung dengan Sunan Tembayat, wali penyebar Islam masa Kerajaan Demak. Tradisi pra-Islam seperti upacara Grebeg yang sebenarnya merupakan pemujaan terhadap ruh nenek moyang orang Hindu, dilestarikan dengan mengubah dan menambahkan bagian-bagian tertentu seperti dengan doa-doa dalam agama Islam. Sistem penanggalan Jawa Kuno yang bergaya India, Saka, diganti oleh Sultan Agung dengan penanggalan Jawa-Islam yang dikenal sebagai kalender Sultan Agungan. Di Barat dikenal sebagai Anno Javanica. Sistem perhitungan kalender saka berdasarkan pergerakan matahari, sedangkan kalender Jawa berdasarkan pergerakan bulan. Tidak lantas tahun dimulai dari angka 1 lagi, tapi meneruskan tahun saka yang sudah berlangsung, yang untuk seterusnya dihitung seperti penanggalan hijriyah. Nama hari dan bulan yang semula berbahasa Sanskerta pun diganti ke dalam bahasa Arab. Terkadang jatuhnya hari-hari bertepatan dengan penanggalan hijriyah, terkadang berbeda 1 hari. Merupakan benih awal dari kejawen. Sultan Agung memperkenalkan karya-karya kesusastraan Islam ke dalam khazanah kesusastraan kerajaan melalui bantuan seorang pangeran dari Surabaya yang menjadi suami adiknya. Pangeran itu keturunan dari salah seorang wali. Sultan Agung juga menciptakan tari Serimpi dan tembang, mengembangkan kesusastraan Jawa Islam dengan menulis beberapa serat, yaitu Serat Sastra Gending, Serat Nitisruti (pemerintahan), Serat Nitisastra, Serat Astabrata, Carita Iskandar, Carita Yusuf, dan Usulbiyah. Pendamaian antara kesusastraan Islam dengan Kerajaan Jawa tidak terjadi pada masa generasi setelahnya, melainkan menjamurnya pemberontakan demi pemberontakan yang mengatasnamakan Islam.
Setelah Sultan Agung wafat, Amangkurat I bertahta (1646 – 1677 M), meskipun sempat terjadi kudeta yang dilakukan oleh Raden Mas Syahwawrat, adiknya dari jalur permaisuri yang lain. Sejak tahun 1670, Madura dan Makasar terlibat perang-perang di Jawa, sehingga dinasti meminta perlindungan kepada VOC yang sudah datang ke Banten sejak tahun 1596 M. Hal yang sangat salah sekali yang dilakukan oleh Amangkurat I, karena VOC merupakan musuh besar Sultan Agung.
Perang antar saudara yang berkepanjangan sangat melelahkan, bahkan terdapat perselisihan antara Amangkurat I (1646 – 1677) dengan Amangkurat II (1677 – 1703), ditambah dengan fenomena Mataram Islam sedang berlindung kepada Belanda yang dianggap sebagaai orang kafir, akhirnya menimbulkan kesadaran masyarakat, bahwa orang-orang yang seharusnya diperangi adalah Belanda, sehingga memunculkan lebih banyak pemberontakan.
Sejak abad ke-16 M, mulai terdapat penggunaan istilah kawula, yang diartikan sebagai hamba, dan gusti sebagai Tuhan, sehingga menjadi lazim penggunaan keduanya pada akhir abad ke-18 M dan 19 M. Tuhan adalah pembentuk teori kerajaan yang berdasar pada kesatuan antara kawula dengan gusti.
Perkembangan kesusastraan Jawa-Islam pada abad ke-17-18 M terjadi pada saat situasi Mataram sedang goncang, tetapi juga diimbangi oleh keinginan untuk memulihkan keadaan dengan menyatukan tradisi Jawa dengan literatur yang berasal dari khazanah Islam hakikat maupun syariat. Para pujangga sebagai penggubah juga bukan orang sembarangan, melainkan terpilih, yang menggubah dengan perantara wahyu. Kesemua hal tersebut menunjukkan penilaian raja terhadap dirinya. Istri Raja Pakubuwono I, Ratu Pakubuwono, yang dikenal sebagai seorang sufi, memunculkan kembali serat-serat atau kitab masa Sultan Agung.
Carita Iskandar, Carita Yusuf, dan Kitab Usulbiyah merupakan kitab yang ditulis oleh Sultan Agung, yang lalu diformulasikan ulang oleh Ratu Pakubuwono sekitar tahun 1729 – 1730 M. Menurut Zainul Milal Bizawie, ketiga kitab tersebut dipergunakan dengan maksud untuk menyatakan kesempurnaan Raja Pakubuwono II, khususnya terkait ajaran sufistik yang menjadi kandungan utama teks. Di sinilah menurutnya, awal mula muncul konsep Raja-Sufi. Raja adalah perwujudan Tuhan di bumi, yang memiliki kekuasaan mutlak sebagai pelaksana Kehendak Tuhan, dan satu-satunya penghubung antara dunia batin dan lahir. Tampak, bahwa kekuasaan tidak sekedar meliputi persoalan sosial-politik, melainkan termasuk agama. Raja bahkan bisa menentukan sistem keberagamaan masyarakat.
Ricklefs menjelaskan, bahwa Carita Iskandar yang ditulis ulang pada bulan September 1729 M, berisikan tentang Iskandar Zulkarnain, seperti yang diceritakan di dalam Qs. 18 : 82 – 89:
وَيَسْأَلُونَكَ عَنْ ذِي الْقَرْنَيْنِ ۖ قُلْ سَأَتْلُو عَلَيْكُمْ مِنْهُ ذِكْرًا
Mereka akan bertanya kepadamu (Muhammad) tentang Dzulkarnain. Katakanlah: “Aku akan bacakan kepadamu cerita tantangnya”.
إِنَّا مَكَّنَّا لَهُ فِي الْأَرْضِ وَآتَيْنَاهُ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ سَبَبً
Sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan kepadanya di (muka) bumi, dan Kami telah memberikan kepadanya jalan (untuk mencapai) segala sesuatu,
فَأَتْبَعَ سَبَبً
maka diapun menempuh suatu jalan.
حَتَّىٰ إِذَا بَلَغَ مَغْرِبَ الشَّمْسِ وَجَدَهَا تَغْرُبُ فِي عَيْنٍ حَمِئَةٍ وَوَجَدَ عِنْدَهَا قَوْمًا ۗ قُلْنَا يَا ذَا الْقَرْنَيْنِ إِمَّا أَنْ تُعَذِّبَ وَإِمَّا أَنْ تَتَّخِذَ فِيهِمْ حُسْنًا
Hingga apabila dia telah sampai ketempat terbenam matahari, dia melihat matahari terbenam di dalam laut yang berlumpur hitam, dan dia mendapati di situ segolongan umat. Kami berkata: “Hai Dzulkarnain, kamu boleh menyiksa atau boleh berbuat kebaikan terhadap mereka.
قَالَ أَمَّا مَنْ ظَلَمَ فَسَوْفَ نُعَذِّبُهُ ثُمَّ يُرَدُّ إِلَىٰ رَبِّهِ فَيُعَذِّبُهُ عَذَابًا نُكْرً
Berkata Dzulkarnain: “Adapun orang yang aniaya, maka kami kelak akan mengazabnya, kemudian dia kembalikan kepada Tuhannya, lalu Tuhan mengazabnya dengan azab yang tidak ada taranya.
وَأَمَّا مَنْ آمَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا فَلَهُ جَزَاءً الْحُسْنَىٰ ۖ وَسَنَقُولُ لَهُ مِنْ أَمْرِنَا يُسْرًا
Adapun orang-orang yang beriman dan beramal saleh, maka baginya pahala yang terbaik sebagai balasan, dan akan kami titahkan kepadanya (perintah) yang mudah dari perintah-perintah kami”.
ثُمَّ أَتْبَعَ سَبَبً
Kemudian dia menmpuh jalan (yang lain).
حَتَّىٰ إِذَا بَلَغَ مَطْلِعَ الشَّمْسِ وَجَدَهَا تَطْلُعُ عَلَىٰ قَوْمٍ لَمْ نَجْعَلْ لَهُمْ مِنْ دُونِهَا سِتْرًا
Hingga apabila dia telah sampai ke tempat terbit matahari (sebelah Timur) dia mendapati matahari itu menyinari segolongan umat yang Kami tidak menjadikan bagi mereka sesuatu yang melindunginya dari (cahaya) matahari itu,
Pembacaan ayat demi ayat di atas dapat memberikan penafsiran tersendiri bagi para pembaca Serat Carita Iskandar, terutama pengetahuannya masih berada dalam wawasan tentang wacana raja adalah penjelmaan Tuhan di muka bumi, seperti yang pernah digadang-gadangkan pada abad ke-16 M.
Ayat, “Sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan kepadanya di (muka) bumi, dan Kami telah memberikan kepadanya jalan (untuk mencapai) segala sesuatu,” akan dipahami sebagai bahwa raja menganggap dirinya berlaku seperti Tuhan, berhak melakukan apapun yang diinginkan, karena semuanya adalah demi menjalankan kehendak Tuhan. Jika memang merasa sedang menjalankan kehendak Tuhan, bagaimana pembuktiannya? Apakah pembaca Carita Iskandar memang tuntas membacanya? Ataukah sekedar mendengarkan dari orang lain?
Carita Yusuf sebelumnya ditulis oleh Sultan Agung pada bulan November 1633 M dan di tempat yang sama ketika bertemu dengan Sunan Tembayat, dalam perjalanan pulang dari Haji. Pada akhir Carita Yusuf, terdapat kalimat pembuka dari kitab Usulbiyah, yaitu,
“Ketahuilah, sesungguhnya barang siapa yang membaca atau menulis kitab ini, akan dijauhkan dari perbuatan setan. Dan lebih dari itu, akan diberkahi seolah-olah bagaikan pergi haji ke Mekah, layaknya seperti memberi makan orang miskin, atau membaca al-Quran. Sama juga dengan berjihad di medan perang: tubuhnya tidak akan hancur, dan ia akan diterima di Surga Tertinggi, semua dosanya akan diampuni. Barang siapa yang membaca kitab ini dengan berwudhu sebelumnya, maka akan dibukakan baginya ilmu hakikat, semua dosanya diampuni, dan Tuhan akan memberikan keberkahan yang besar baginya.”
Carita Yusuf juga berisikan tentang kesabaran Yusuf ketika dianiaya oleh saudara-saudaranya, dan kebesaran hati untuk memaafkan mereka.
Ricklefs menyatakan, bahwa Ratu Pakubuwono yang merupakan sufi perempuan, memang merupakan tokoh utama kesusastraan dan agama pada masa awal abad ke-18 M. Pada tahun 1715, sebelum ia mentransformasi tiga serat karya Sultan Agung di atas, ia menejemahkan kisah-kisah Amir Hamzah ke dalam bahasa Jawa dan diberi judul Serat Menak, dan Serat Suluk Garwa Kancana pada tahun 1730 M. Serat tersebut berisikan nasihat agar para raja tidak sampai terlena oleh puja-pujian bawahannya, sehingga ketiga kitab karya Sultan Agung yang ditransformasi ulang oleh Ratu Pakubuwono, tidak mungkin memiliki maksud bahwa raja harus dianggap sebagai orang yang memiliki Kuasa Tuhan dalam arti bisa memiliki kekuasaan tak terbatas. Dalam arti negatif, siapapun tak memiliki wewenang untuk memiliki pendapat.
Dan karena begitu pentingnya, kitab Usulbiyah dijadikan oleh ratu Pakubuwono sebagai kitab suci Kasunanan Surakarta, dan menyatakan bahwa, “mengamalkan kitab tersebut layaknya seperti memberi makan orang miskin, atau membaca al-Quran. Sama juga dengan berjihad di medan perang: tubuhnya tidak akan hancur, dan ia akan diterima di Surga Tertinggi, semua dosanya akan diampuni. Barang siapa yang membaca kitab Usulbiyah dengan berwudhu sebelumnya, maka akan dibukakan baginya ilmu hakikat, semua dosanya diampuni, dan Tuhan akan memberikan keberkahan yang besar baginya.” Tidak mungkin kata-kata seperti itu muncul dari keinginan menjadikan seorang raja sebagai diktator. Terlebih, diketahui bahwa pada masa ini, Pakubuwono II sudah melakukan semedi pada saat-saat tertentu. Dan mesjid menjadi lebih makmur dengan para ulama pilihan yang berdakwah.
Sudah jelas terdapat penafsiran yang salah dari banyak orang atas maksud penulisan kembali ketiga kitab Sultan Agung oleh Ratu Pakubuwono, dikarenakan tidak memahami maksud sebenarnya, dan barangkali karena menghubungkannya dengan situasi Keraton yang sedang terpuruk baik di dalam maupun di luar Keraton. Untuk menarik simpati dan rasa hormat para pemberontak dan rakyat kepada Raja, maka dimunculkan ketiga serat dari Sultan Agung dan Serat Suluk Garwa Kancana. Kesalahan tafsir yang sama dengan maksud dari istilah manunggaling kawula lan gusti. Hanya saja pada konteks ini berada dalam konteks politik. Secara historis di atas, bisa kita lihat akibat yang ditimbulkan oleh salah tafsir tersebut.
Pada tahun 1749 M, pada masa pemerintahan Pakubuwono III (1749 – 1788 M) sebagai Raja Kasunanan Surakarta, Mangkubumi menyatakan diri sebagai raja di Yogyakarta dengan gelar Hamengkubuwono I (1749 – 1792 M). Kehidupan Kasunanan Kartasura yang dimulai dari Mataram akhir hingga keterpecahan menjadi dua daerah besar, yaitu Kasunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta, diikuti dengan dua anak kerajaan kecil yang penting, yaitu Mangkunegaran (1757) dan Pakualam (1812), ternyata tidak hanya dipenuhi oleh kekacauan politik dalam negeri sendiri, melainkan ada upaya pemulihan dalam negeri dengan melanjutkan usaha pendamaian antara tradisi Jawa dan syariat Islam, sehingga melahirkan apa yang dinamakan sebagai sintesis mistik atau kejawen.
Perumusan kejawen merujuk kepada kitab berjudul al-Tuhfah al-Mursala ila Ruh al-Nabi yang berarti Anugrah yang ditujukan kepada Ruh Sang nabi, yang ditulis oleh Muhammad ibn Fadli’lah al-Burhanpuri, sufi asal India, dan menghasilkan tiga pilar utama:
1. Suatu kesadaran identitas islami yang kuat. Menjadi Jawa berarti menjadi Muslim.
2. Pelaksanaan lima rukun Islam, yaitu mengucapkan syahadat, shalat lima waktu, membayar zakat, berpuasa Ramadhan, dan naik haji bila mampu.
3. Menerima realitas kekuatan spiritualitas Jawa seperti ratu Roro Kidul, Sunan lawu, dan lain sebagainya.
Konsep Martabat Tujuh (tujuh tahapan jiwa menuju penyatuan antara tubuh dengan jiwa dan ruhul quds = manunggaling kawula lan gusti) dijelaskan melalui khazanah Hindu tentang hubungan Wisnhu dengan Khrisna. Seni lama seperti pendalangan dikembangkan, yang sebagian besar ceritanya diambil dari kisah Hindu. Pemeluk agama Islam sangat patuh kepada agama Islam. Semuanya dilakukan dalam kesadaran tinggi sebagai orang Islam, baik dari kalangan petinggi hingga masyarakat luas. Tiga pilar sebenar dilaksanakan, hingga naik haji menjadi hal yang lazim di masyarakat.
Pada masa Pakubuwono III, mulai berkembang pesat penulisan teks-teks Islam berkonsepkan manunggaling kawula lan gusti dengan penokohan India, seperti Serat Arjuna Wiwaha, Serat Jatiswara, Serat Bima Suci Serat Dewa Ruci yang ditulis ulang oleh Yosodipuro I, dan penggunaan tokoh Islam seperti Serat Syeh Malaya yang ditulis oleh Iman Anom pada tahun 1864 M. Lalu berlanjut dengan serat-serat yang memadu syariat dan hakikat seperti Serat Centhini.
Bagaimana ide akan penyatuan syariat Islam dengan tradisi Islam sampai kepada Sultan Agung, Pakubuwono I, dan Pakubuwono III, pun tidak terlepas dari ide yang disebarkan oleh kaum ulama sufi dari jalur Timur Tengah, India, Persia, dan Haramayn. Namun, bagaimanakah jalurnya bisa sampai kepada Jawa? Ada kontribusi para wali Sumatera di dalamnya. Insya Allah, semoga ada kemauan, kemampuan, dan kesempatan, Allah bukakan. Aamiin ya Rabbal ‘aalamiin.
Sumber:
Tesis Dwi Afrianti, Transformasi Penyebaran Konsep Manunggaling Kawula lan Gusti dalam Masyarakat Jawa Abad ke-16 – 21: Studi Serat Nawa Ruci (Abad ke-16 M), Dewa Ruci (Abad ke-18 M), Serat Cabolek (Abad ke-19 M), Serat Syeh Malaya (Suluk Ling Lung (Abad ke-19 M), dan Serat Sastra Jendra (Abad ke-20 M).