Sabtu, 5 Maret 2022, Pk. 14.10 – 16.30
Dr. Munir, MA.
Tiga kata kunci ketika berbicara spiritual, mistisism, dan esoterism. Apakah ketiga istilah ini sama, berbeda, atau overlap? Ataukah da titik singgung antara satu dengan yang lain?
Mistisism merupakan istilah yang biasa digunakan oleh Barat, hingga kini. Bahkan, buku-buku terbaru tentang tashawuuf di Barat, masih menggunakan Islamic Mistisism, seperti Mystical Dimension in Islam yang ditulis oleh Annemarie Schimmel. Dari Indonesia sendiri, Harun Nasution menulis buku bertajuk Falsafat dan Mistisisme dalam Islam.
Kenapa disebut dengan mistisism? Apakah lantas ia berbeda dengan tashawwuf atau sama? Kira-kira, jika orang bule lebih memilih mistisism atau sufism daripada tashawwuf, kenapa? Sebelumnya, Islam juga diistilahkan sebagai Mohammedanism. Selalu menggunakan -ism.
Kita bisa coba membaca buku-buku teori mistisism Barat yang biasa digunakan oleh mereka, seperti:
William James: The Varieties of Religious Experiences.
Meskipun berbicara tentang pengalaman keagamaan, namun hampir sebanyak 50% berbicara tentang mistisism.





Eveline Underhill: Mysticism: A Study in Nature and Development of Spiritual. Annemarie Schimmel merujuk pada Eveline Underhill dalam penulisan bukunya.


Istilah mistis berasal dari bahasa Yunani “mystikos”, yaitu sesuatu yang tak terlihat atau misteri. Kemudian orang mengistilahkan, bahwa mistisism merupakan keyakinan, bahwa seseorang itu bisa berhubungan/ bersatu, terserapnya seseorang ke dalam wujud yang dianggap absolut. Karena itu, jika tashawwuf dibagi menjadi dua, maka tashawwuf falsafi inilah yang disebut sebagai mistisism. Jika tashawwuf akhlaki/ sunni, maka mistisism tidak masuk ke sana.
Namun perlu diketahui, bahwa yang disebut sebagai tashawwuf akhlaki/ sunni, pada umumnya memiliki dasar tashawwuf falsafi. Bisa kita lihat dalam Islam. Yang disebut sebagai tashawwuf akhlaki/ sunni, banyak tersebar dalam bentuk tarekat, tapi dasar tarekat itu adalah, adanya keyakinan bahwa para pendiri mereka punya pengalaman-pengalaman mistis. Misal, Tarekat Qodiriyah yang didirikan atau paling tidak, dinisbatkan kepada Syekh Abdul Qodir Jaelany, bahwa ajaran-ajaran yang dikembangkan oleh Tarekat Qodiriyah, berdasarkan pengajaran Nabi Saw. kepada Syekh Abdul Qodir Jaelany tentang wirid yang harus ia ucapkan. Jadi, di situ ada pengalaman mistis yang menjadi dasar ajaran yang kemudian dikenal dengan oleh para pengikut Syekh Abdul Qodir Jaelany dengan nama Tarekat Qodiriyah. Karena itu, wajar jika ada perbedaan antara tashawwuf sunni yang satu dengan lainnya. Pada tingkat dasarnya, adalah pengalaman mistik. Tarekat-tarekat itu dilembagakan, yang didirikan oleh pendiri yang punya pengalaman-pengalaman mistis tertentu yang berbeda.
Sebelum menjadi Mursyid, Syekh Abdul Qodir Jaelany mengajar di salah satu masjid di Baghdad. Kemudian, dia ragu untuk memberikan fatwa, tapi di saat itu juga dia didatangi oleh Nabi Saw. secara fisik. Bukan dalam mimpi. Ketika mau mengeluarkan fatwa, Syekh Abdul Qodir Jaelany tidak bisa membuka mulut. Lalu Nabi Saw. datang dan berkata, “Buka mulutmu.” Lalu Syekh Abdul Qodir Jaelany diludahi sebanyak tujuh kali. Belum sampai berdakwah, lalu Ali ra. datang. Ali meludahi sampai enam kali. Lalu, Abdul Qodir Jaelany bertanya, “Kenapa enam kali?” Ali ra. Menjawab, “Meneladani Nabi. Kalau Nabi tujuh, masa saya juga tujuh?”
Karena setiap pendiri tarekat memiliki pengalaman-pengalaman mistis, karena itu tidak mungkin bertashawwuf tanpa adanya tarekat. Sebaliknya, tarekat juga tidak mungkin tanpa adanya tashawwuf falsafi. Ada hubungan erat, tapi tergantung sudut pandang kita dalam melihatnya. Pada tingkat pendiri, mistisism-nya ada. Namun ketika masuk ke dalam tashawwuf akhlaki, mistisism atau tashawwuf falsafinya tidak kentara.
Kenapa antara satu tarekat dengan lainnya berbeda wirid-wiridnya? Karena memang tiap pendiri memiliki pengalaman mistis yang berbeda. Contoh lagi, misal pada Tarekat Tijaniyah. Syekh at-Tijani bertemu dengan Nabi Saw., juga dalam keadaan jaga, dan Nabi Saw. mengajarkan, “Tinggalkan semua wirid yang sudah kamu lakukan.” Pengalaman-pengalaman itulah yang sudah mereka peroleh dari pengalaman-pengalaman mistis. Bedanya, nanti di tarekat, ada yang ngirim al-Faatihahnya melalui sahabat: Ali ke Nabi Saw. Tijaniyah tidak, karena langsung diajar oleh Nabi Saw.. Sholawatnya cukup wa ‘ala aalihi.
Dengan demikian, maka pengalaman-pengalaman mistis itu yang kemudian aspek akhlakinya yang diajarkan oleh guru-guru mereka.
Ada juga, dua tarekat dengan pengalaman mistis pendirinya yang berbeda, yang tentunya memunculkan ajaran yang berbeda, tapi terjadinya penggabungan, semisal . Tarekat Qodiriyah bergabung dengan Tarekat Naqsyabandiyah.
Namun sebaiknya, kita jangan menggunakan mistisism, karena seringkali konotasi mistisism tidak bagus. Coba buka Google, banyak definisi, tapi seringkali diidentikkan dengan keyakinan semisal bahwa orang-orang yang sudah mati itu dikaitkan dengan orang yang hidup, semisal ngasih sesajen.
Esoterism apa lagi? Esoterism, walaupun menjadi bagian dari dimensi batin, tetapi ada semacam keyakinan, bahwa itu pengetahuan yang hanya dimiliki oleh kelompok tertentu dalam sebuah tarekat yang sama. Ada tingkatan yang tidak bisa diahami oleh orang lain, karena itu ada komunitas tertentu. Esoterism sendiri sampai hari ini itu baru sampai tahap kajian, belum benar-benar diterima, masih menjadi perdebatan. Latar belakangnya Barat. Dalam tradisi Kristen, ada kelompok tertentu bahwa ada ilmu tertentu yang dimiliki oleh kelompok tertentu.
Semisal Fritjhop Schoun, ia mengaitkan spiritualitas Islam dengan esoterism. Lalu, magic itu apa lagi? Harus dibedakan lagi. Karena, terdapatnya fenomena-fenomena yang ‘ganjil’. Keganjilan-keganjilan tersebut ,apakah bagian dari magic atau tidak?
Gnostisism sendiri hampir mirip dengan esoterism, yaitu ada pengetahuan-pengetahuan tertentu. Masih perlu dieksplorasi lebih lanjut.
Hmm, pertanyaan: baru sadar kalau istilah spiritual belum dibahas 😀