Tentang

Petualang Sejarah Islam Nusantara, penelusur Naskah Kuno, peselancar di alam, murid baru dalam Religious Studies.

A Bridge to the Soul: Mengasah Hati dan Akal dalam Perjalanan

Sekedar menuliskan apa-apa yang terasa dimudahkan, sebagaimana pengakuanku kepada sang Guru, “Guru, saya ingin menuliskan Sejarah yang nyastra.” Tidak tahu bentuknya bagaimana, hanya saja ketika itu yang kurasakan, bahwa Tuhan harus ada di dalam penulisan Sejarah tersebut. Hatiku ingin selalu merembes. Pengertian Susastra itu sendiri adalah pengungkapan pengalaman jiwa manusia yang sarat akan makna.

Belakangan, ternyata dalam khazanah Melayu, terdapat dua jenis sastra: Sastra Sejarah, yaitu pengungkapan sejarah dengan penyertaan mitologi. Satunya lagi Sastra Kitab, yaitu khazanah tashawwuf. Ya, tidak jauh dari apa yang kubayangkan. Berisikan hikmah dan pelajaran yang membawa pada maksud Tuhan menggariskan peristiwa demi peristiwa pada kurun waktu tertentu dengan para pelakunya yang khas.

Semoga Allah mengampuni, merahmati dan memberkahi kita semua. Aamiin ya Rabbal ‘aalamiin.

Filosofi Empan Papan Sunan Kalijaga:

Anglaras inglining banyu ngeli ananging ora keli (Lokajaya, Lor 11 : 629). Menyesuaikan mengalirnya air; sengaja mengikuti arus, tetapi jangan terbawa arus.

Qs. Ali Imron [3] : 22

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan langit dan bumi dan berlain-lainan bahasamu dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikan itu benar-benar terdapat ayat-ayat-Nya bagi orang-orang yang mengetahui (al-‘Aalamiin).”

Qs. al-Hujurat [49] : 13

“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”

Tak seperti Romadhon tahun-tahun sebelumnya dan tahun-tahun sebelumnya lagi, serta sebelum-sebelumnya lagi, yang selalu kusambut dengan ‘seolah-olah’ penuh pendar cahaya dan harapan, Romadhon tahun ini diawali dengan tangisan. “Apakah aku sedang tengah tercampakkan saat ini? Tersesat, Gusti? Tak pasti langkahku… Goyah. Gamang.” Semoga lara ini merupakan munajah kepada-Mu, bukan suatu kehilangan harapan.

Aku mencari saja identitas diriku… tak kenal, maka tak sayang pada diri sendiri. Apa tah lagi pada Sang Pencipta, terlebih ciptaan-Nya.

Warna-warni itu suatu berkah atau kesulitan? Tersungkur… tak berdaya.

Delapan belas tahun kuhirup udaramu, makan-minum-mandi, kujejakkan tapak-tapak tangan dan kaki pada tanahmu, dibesarkan: diasuh, dididik oleh orang tua, para guru, tetangga dan teman-teman dan masyarakat luas di Alam Melayu Palembang dan Riau, dan juga Jayakarta (biar klasik kesannya). Padahal, sudah berulang kali bapakku dari kantornya direncanakan untuk pindah ke Bandung, Bali, dan Papua, tetapi ibuku tidak mau. Lalu tiba lah saatnya merantau, di tempat yang sebenarnya tak pernah menjadi keinginanku: Bandung. Dan sama sekali tak pernah terlintas di kepalaku. Padahal, ingin kuliah di Ngayogyakarto, dengan cuma satu tujuan: terlingkupi oleh suara gamelan. Tampaknya, bapakku telah berhasil melingkari kehidupanku dengan aroma Jawa: primbon, musik Jawa, dan buku-buku mistik lainnya. Gegara tidak sengaja mendengar seorang teman SMA ingin masuk Psikologi, maka aku pun ikut daftar, sehingga tercetuslah Bandung. Padahal, lingkup minatku semasa kecil hingga SMA, cuma membaca dan menulis, musik, arsitektur, serta sedikit tertarik dengan hal berbau kesehatan dan tanaman.

Lalu, di Bandung lah aku berpijak, menuntut ilmu dari satu fase ke fase berikutnya. Bandung, kota kosmopolitan tampaknya. Keingetan dulu bapakku suka nyinggung-nyinggung, “Coba dulu jadi pindah ke Bandung.” Ah, bakal beda ceritanya, Pa. Tapi, ya… memang bukan itu Kehendak Allah. Perlu ditempa dulu aku-nya di Sumatera. Sedangkan adikku yang kuliah di Semarang dan mendapatkan orang Tulung Agung, malah tinggal di Pekanbaru. Lainnya kuliah di Bandung dan malah ada yang SMA di Jakarta, balik lagi ke Pekanbaru. Begitulah jalan hidup… lair, wungu, pindah, wungu lagi ke mana akhirnya…

Menikah, dengan orang separuh Cina dan Banten-Jayakarta. Aku sendiri bersukukan Jawa (Kutoarjo, Yogya) – Sunda (Bogor).

Mengapa persoalan seperti ini kuperhatikan? Mengapa menarik bagiku? Karena sekarang sedang tertunduk tak berdaya saja. Apa Mau-Nya Dia? Semakin tersesatkah aku sekarang? Sejak 2015 dan semakin menguat hingga akhir Romadhon tahun lalu menghasilkan persoalan Kejawaan, tetapi sejak Rajab 1442 ini, kuberminat besar akan Kesundaan.” Tetapi sepertinya, sebenarnya sudah sejak tahun 2017 dibukakan secara tidak sengaja minat akan Kesundaan ini, dengan menuliskan tentang Sunan Gunung Djati, Abdul Muhyi Pamijahan, dan Cirebon. Lalu setelah itu, ternyata sering tertarik dengan Kesundaan dan menjelajah ke situs Sejarah Sunda.

Jadi teringat tahun 2018 ketika sedang berbincang-bincang dengan Kaprodi S3 Religious Studies UIN-SGD, yang beliau menceritakan bahwa belum banyak penggalian tentang Sejarah Sunda, dan ingin sekali ada orang yang menggarapnya dengan lebih serius. Waktu itu mendengarkannya, aku cuma bilang dalam hati, “Saya tidak mengerti, Pak, tidak tertarik. Maafkan.” Sekarang, kena deh… berkahnya?

Tidak tahu, Rabb…. apakah ini menjadi urusan yang semakin meluas ataukah menyempit? Hanya saja, ada beberapa urusan yang sudah kuakadkan pada-Mu, bahwa, “Aku rela kehilangannya.”

Rahmatilah aku, yang insya Allah semoga selalu ingin mencari kesejatian diriku. Sekecil apapun. Aamiin ya Rabbal ‘aalamiin.

Tafakur 1 Ramadhan 1442 H, Pk. 06.21

Selasa, 13 April 2021.



Aktivitas Saat ini

Sekretaris Paramartha International Centre for Tashawwuf Studies (PICTS).

Pengkaji C. G. Jung dan Ibnu Sina di Bina Psikologi Swabhawa.

Guru Minat SMP alKautsar Pelita Insani.

Mahasiswi Prodi Religious Studies Jurusan Filsafat Agama.