Descartes lahir di La-Haye, 13 Maret 1596, dan meninggal di Swedia, 11 Februari 1650, beberapa minggu sebelum berusia 54 tahun. Berasal dari keluarga Katolik Lutherian (Gereja Katolik), dari seorang Ayah, Joachim Descartes, kalangan ningrat golongan bawah, beranggotakan Parlemen Bretagne, berprofesi sebagai hakim. Kakek dan kakek buyut dari garis ayah berprofesi sebagai dokter, sedangkan kakek dari garis ibu berprofesi sebagai pegawai di bidang hukum.[1] Selama empat belas bulan usianya, berada dalam kemiskinan, jauh dari ayahnya yang meninggalkan rumah untuk bertugas. Dan ketika berusia satu tahun, pada tahun 1597, ibunya, Jeanne Brochard, meninggal.

Sepanjang hidupnya, Descartes selalu berperang secara intelektual.[2] Sejak kecil sudah memiliki rasa ingin tahu yang besar, selalu bertanya mempertanyakan sebab-sebab dan alasan-alasan, sehingga membuat ayahnya memanggil Descartes sebagai “filsufku”.[3] Meskipun melihat kecerdasan sedemikian, ketika usia Descartes sudah sampai untuk mendapatkan pendidikan formal, ayahnya tidak mengajarkan Descartes apapun – kecuali hal-hal sangat mudah dan sederhana -, karena malah membuat Descartes frustrasi. Karena itu Descartes baru disekolahkan pada usia delapan tahun.
Penempaan ilmu dilakukan dari tahun 1604 sampai 1612 di Jesuit Order, College Henri IV yang didirikan oleh Ignatius Loyola, seorang santa tentara dari Spanyol yang aneh, menarik, dan semangat, yang dikaruniai kemampuan menyembuhkan sakit jiwa, dan kerap membantu anak-anak muda menerima kehidupan mereka dengan ikhlas. Awalnya sekolah ini bernama Jesuit Order/ College, lalu oleh Napoleon pada abad ke-19 diubah namanya hingga kini menjadi Prytanée national militaire. King Henri IV mendirikan Jesuit College dengan tujuan agar anak-anak muda mencintai ilmu, menjadikan mereka terhormat dan bermanfaat dengan menjadikan diri mereka sebagai pelayan umat.[4]


Selama delapan tahun Descartes mendapatkan penempaan ilmu klasik, fisika, liberal arts (quadrivium: aritmetika, geometrika, astronomi, musik dan trivium: grammar, retorika, logika), metafisika, drama, menari, riding, anggar, dan filsafat alam. Sekolah tersebut mengambil sumber keilmuwannya dari Aristoteles, yang disebut juga sebagai filsafat skolastik. Descartes bangga dengan sekolahnya, tetapi merasa kecewa karena fisika yang dipelajarinya mengawang-awang, tidak menggunakan prinsip-prinsip matematika. Observasi yang dilakukan tidak bernilai kuantitatif, hanya bernilai kualitatif dengan penggunaan istilah-istilah yang samar, abstrak, dan tidak jelas,[7] padahal sudah ada penemuan-penemuan dari Galileo yang setidaknya bisa membangkitkan kesadaran untuk mencari metode berbeda dari yang selama ini telah dilakukan. Tetapi meskipun begitu, terdapatnya perayaan di La Fleche pada tahun 1611 untuk memperingati bulan-bulan Jupiter temuan Galileo.
Terlepas dari kelebihan dan kekurangan filsafat skolastik, Descartes cenderung penentang pembela ide-idenya sendiri dan suka mengkritik dengan cara yang tidak simpatik ide-ide orang lain. Ia rutin mendebat matematikawan, filsuf, teolog, dan siapapun yang gagal untuk memahami signifikansi pemikirannya.
Pada tahun 1616, Descartes mengenyam pendidikan Hukum di Licenciate of Law di University of Poiters. Dua tahun kemudian, masuk militer di Prince Maurice of Nassau, Holand. [8] Setahun berikutnya pindah ke Army of Elector Maximilian, duke of Bavaria, Jerman.
Descartes penting untuk dikaji, banyak yang beranggapan dikarenakan motto “I think, therefore I am”, padahal motto itu hanya secuil dari pekerjaan besar Descartes. Selama masa hidupnya juga beberapa lama setelah meninggalnya, ia dipahami sebagai seorang metafisikawan yang berupaya menunjukkan bukti Adanya Tuhan dan jiwa melalui intuisi, pikiran, benda-benda dan pembuktian geometri, atau filsuf yang sangat serius dengan pernyataan-pernyataan skeptik hingga bapak filsafat sebagai pembuka zaman modern yang memberikan landasan rasional dan mekanistik dalam memandang manusia. Descartes juga dikritik oleh kaum feminist yang melihat Descartes sebagai orang yang terlalu melulu berpikir sehingga tidak peduli dengan kehidupan emosi, padahal sebenarnya Descartes seorang penyayang. Terlepas dari semua itu, ia dikenal sebagai kepribadian yang hanya suka membaca sedikit buku,[9] senang bepergian ke negara atau kota lain untuk menyelidiki pemikiran orang dengan metode penelitian yang ia rancang sendiri. Selama hidup berupaya menyampaikan pemikirannya di seluruh Eropa, khusunya dalam korespondensi intensif dengan Mersenne, dan meskipun begitu ia rendah hati, tidak suka menonjolkan ilmunya dan tidak memerlukan harta dan jabatan.
Sistematika Kelahiran Karya
Persahabatan dengan Beeckman
Pada tahun 1612, Descartes berangkat ke Paris, tetapi menemukan kehidupan sosial yang membosankan di sana, sehingga dia pun mengasingkan diri dari teman-temannya di sebuah daerah terpencil di Fauborg St. Germain dengan menekuni geometri. Pada tahun 1614 – 1616 Descartes belajar hukum sipil & perundangan.
Ketika teman-temannya mengetahui tempat persembunyian Descartes, maka Descartes melarikan diri dengan sekaligus memanfaatkan fasilitas militer, yaitu mendaftar sebagai tentara Belanda pada tahun 1617, yang dilakukannya hingga tahun – 1621. Sepanjang hidupnya dihabiskan dalam hidup menyendiri penuh renungan di Belanda, didukung dengan keadaan Perang 30 tahun.[10]
Perjalanan empat tahun wajib militer cukup mengkonfimasi minat-minat dan tujuan hidup Descartes. Sepanjang wajib militer, yang dipikirkannya hanyalah persoalan aplikasi matematika terutama geometri, dan selama ini pula, Descartes malah menulis beberapa buku.
Puncak pemikirannya membawanya pada jalan-jalan beberapa jam untuk memikirkan geometri, yang membawanya ketika sedang di Breda-Belanda bertemu dengan Isaac Beeckman, seorang filsuf sekaligus matematikawan dan fisikawan Belanda berusia 30 tahun yang memiliki perhatian pada banyak bidang ilmu. Descartes lebih muda delapan tahun. Persahabatan mereka membuka kembali minat-minat Descartes, yang dituangkan Descartes dalam sebuah surat yang ditulis untuk Beeckman (1588 – 1637) pada tahun 1619, “Terus-terang, sebenarnya Andalah yang membebaskan saya dari kehidupan luntang lantung dan mengingatkan saya akan hal-hal yang pernah saya pelajari dan hampir saya lupakan: ketika pikiran saya melantur dari masalah-masalah yang serius, Andalah yang mengembalikannya ke jalur yang benar.”[11]
Pada tahun 1618 ada dua buku yang ditulis. Buku Rules for Guiding one’s Intelligence in Searching for the Truth baru diselesaikan tahun 1628.
Pada tanggal 10 November di tahun 1619,[12] tatkala Descartes sedang singgah di Neuburg-Jerman dalam musim dingin yang teramat menyiksa, dia bermimpi tiga kali, yang ditafsirkan kang Zam (diceritakan oleh kang Al) sebagai berikut:
- Ia berada di ruang gelap dan ada petir, itu sama dengan ayat Al-Baqarah tentang orang yang berjalan dalam gelap lalu ada petir menyambar dan sesaat dia bisa melihat jalan, untuk kemudian gelap lagi.
- Ia terlempar menjauh dari gereja karena tertiup angin kencang, itu simbol bahwa Descartes sedang ditarik atau dicabut dari doktrin Gereja sehingga bisa bebas berpikir.
- Ia menggamit salah satu kalimat dari sebuah puisi di antara setumpukan kertas yang berisi tulisan “Quad vitae sektabor iter?” Hidup apa yang kau ikuti?
Pertanyaan pada mimpi ketiga dijawabnya dengan, “Cogito ergo sum.” Aku berpikir, maka aku ada.”
Buku The Compendium on Music diselesaikan langsung pada tahun 1628, sekaligus menjadi buku pertama pada saat dia berusia 22 tahun tersebut. Merupakan hasil pertemuan, diskusi persoalan aplikasi fisika-matematika termasuk matematika murni seperti aritmetika dan geometrika dengan Beeckman, yang berkontribusi penting dalam mengubah pandangan-pandangan Descartes tentang matematika, tetapi tidak begitu bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan Descartes tentang musik. Sehingga, buku ini pun didedikasikan untuk Beeckman. Di dalam penulisannya, Descartes menggunakan bantuan Teori Musik Pythagoras yang dipelajarinya dari Gioseffo Zarlino yang sebenarnya juga merujuk tak langsung kepada Salinas. Di sini Descartes melihat hubungan matematika, aritmetika (aljabar) dengan musik, bagaimana susunan angka-angka menjadi penyusun musik. Keindahan sebuah musik dinilai dari kemampuannya memprovokasi emosi dan afeksi pendengar, karena itu Descartes menyusun prinsip-prinsip (Praenotanda) yang dapat menciptakan keindahan tersebut dengan memberi perhatian pada persoalan interval yang melibatkan pitch (tinggi rendah angka) dan waktu (jumlah ketukan yang mempengaruhi irama dan meter (bar) dengan mengujicoba persoalan konsonan, skala, dan disonansi. Bahasan lebih lanjut tentang jenis-jenis musik yang disusun berdasarkan tipe emosi dan afeksi yang ditujukan. Warna suara (timbre) dikaji oleh persoalan fisika. Pengkajian Descartes akan musik memperkenalkannya kepada sebuah metode yang menjadi landasan bagi pembentukan pemikiran-pemikiran Descartes selanjutnya, yaitu bagaimana menurunkan metafisika Aristoteles menjadi jenis sains baru (eksperimen dan observasi) dengan menyatukan persoalan Tuhan, jiwa, dan alam.
Buku Analytical Geometry disusun pada tahun 1619, hasil dari Descartes memikirkan cara untuk membangun pengetahuan baru dan semua pengetahuan yang ada menjadi pasti dan menyatu.
Pada awal abad ini, para matematikawan sedang giat mencari-cari cara pembuktian geometris untuk mengidentifikasi kriteria kurva yang tepat dan bagaimana menggunakan metode analisa dan sintesa dalam pembuktian geometri tersebut. Untuk menjawab persoalan tersebut, Descartes menggunakan bantuan Pappus of Alexandria (290 – 350 M), ahli geometri klasik yang dipelajari oleh Clavius (Jerman, 1538 – 1612 M), tokoh matematika yang dipelajari di jesuit tempat Descartes belajar. Di sini, Descartes menemukan, bahwa perlu menyatukan aritmetik dengam geometri, dengan tujuan untuk memperlihatkan bagaimana aritmetik (perkalian, pembagian, akar pangkat dua) menjadi bahan penyusun geometri, bagaimana menyusun simbol-simbol aritmetik dan menggunakannya dalam penyelesaian persoalan geometri, dan bagaimana menggunakan persamaan dalam penyelesaian suatu permasalahan.
Semakin dalam Descartes mengkaji matematika, semakin dia sepakat dengan Clavius, bahwa kriteria ilmiah matematika adalah dignity (keajegan), utility (kegunaan), dan certainty (kepastian), sehingga bisa dijadikan sebagai alat untuk menciptakan suatu dasar pengetahuan, sehingga semua pengetahuan mempunyai kekokohan, keutuhan, kegunaan, dan kepastian.
Pada tahun 1621, akhirnya ia memutuskan untuk berhenti dari wajib militer, dan rencana untuk pulang ke Paris tahun 1622 batal dikarenakan di Paris sedang ada pandemi selama dua tahun, sehingga memutuskan untuk mengunjungi ayahnya di Rennes. Descartes menerima warisan dari nenek jalur ibunya, bibinya, dan dari ibunya sendiri, yang setelah disepakati dengan Pierre, 2/3 harta yang ada di Poitou dijual lalu dibagi-bagikan kepada dua saudaranya, dan sisanya kepada adik yang paling muda. Selesai pandemi, kembali ke Paris tanpa memiliki rencana apapun, selain ambisi intelektual tentang penemuan metode penemuan pengetahuan yang benar.
Pada tahun 1637, Descartes menulis buku Discourse on Method. Tampaknya buku ini menggambarkan sedikit kekecewaannya atas pendidikan secara umum termasuk filsafat dan ilmu-ilmu skolastik. Palingan yang didapatkan, bahwa “filsafat memberikan kita kesempatan untuk berbicara tentang banyak hal dan memenangkan kekaguman dari orang-orang yang kurang terdidik; hukum, kedokteran, dan ilmu-ilmu alam lainnya tidak jelas kegunaannya, tidak dapat diperdebatkan dan karenanya meragukan. Dan selama ilmu-ilmu tersebut meminjam prinsip-prinsip dari filsafat yang sudah ada, mereka tidak akan mampu untuk membangun pondasinya dengan kokoh.”[13]
Meskipun begitu, Descartes memberikan apresiasi terhadap sekolahnya, “Tidak ada tempat di bumi ini yang mengajarkan filsafat lebih baik selain di La Fleche, karena:[14]
- Pengajaran filsafat terburuk ada di Holland
Sehari-harinya profesor hanya mengajar sejam sehari, itu pun rata-rata hanya setengah tahun.
- Perubahan itu bagus dalam kehidupan seseorang, seperti meninggalkan rumah untuk belajar di negara lain, dalam bahasa, gaya hidup, dan agama yang berbeda. La Fleche tidak jauh dari standar sedemikian. Begitu banyak anak muda dari seluruh penjuru Perancis yang belajar di sana, dan mereka membentuk aneka ragam campuran yang seolah-olah belajar di La Fleche itu seperti mengadakan perjalanan yang jauh. Jesuit memperlakukan setiap siswanya dengan setara.
Tentang pentingnya pengajaran filsafat, Descartes memberikan pendapat,
“Tidak berarti seolah-olah segala sesuatu yang diajarkan dalam filsafat adalah benar seperti Injil, tetapi karena filsafat adalah kunci dari ilmu-ilmu lain, maka sangat berguna untuk mempelajari seluruh kurikulum filsafat. Lembaga-lembaga Jesuit berupaya mengangkat pikiran seseorang tetap sederhana tidak suka menonjolkan keilmuan dan menjadikan diri sendiri bijak.”
Filsafat diajarkan selama dua kali sehari dalam sesi yang masing-masing berlangsung dua jam, dari kurikulum yang ditetapkan terutama berdasarkan Aristoteles dan Thomas Aquinas.
Selama masa Descartes, tahun pertama dikhususkan untuk logika dan etika, yang terdiri dari komentar dan pertanyaan berdasarkan Kategori dalam Isagoge Porphyry dan Aristoteles dalam karya Interpretasi, Prior Analytics, Topik, Posterior Analytics, dan Etika Nicomachean. Tahun kedua dikhususkan untuk fisika dan metafisika, terutama berdasarkan Fisika Aristoteles, De Caelo, On Generation and Corruption Book I, dan Metaphysics Books 1, 2, dan 11. Tahun ketiga filsafat adalah tahun matematika, yang terdiri dari aritmatika, geometri, musik, dan astronomi, termasuk topik-topik seperti pecahan, proporsi, angka dasar, teknik untuk pengukuran jarak dan ketinggian, trigonometri, gnome, geografi dan hidrografi, kronologi, dan optik. Mahasiswa diharapkan untuk mempelajari kuliah profesor mereka secara menyeluruh. Rutinitas harian mereka akan mencakup sejumlah jam waktu belajar yang dibutuhkan, mereka harus menunjukkan pekerjaan mereka setiap hari dan mengulang materi. Pembelajaran mereka akan diuji debat mingguan dan bulanan di depan profesor dan rekan-rekan mereka.
Pernyataan berikut dituliskan Descartes di dalam Pengantar buku Discourse on the Method yang baru ditulis pada tahun 1637.
“Saya terus mempraktikkan metode yang saya rumuskan sendiri. Karena, disamping secara umum bisa menjaga agar semua pemikiran saya tetap berada di dalam aturan yang benar, saya juga selama beberapa jam setiap hari mengaplikasikan metode tersebut ke dalam persoalan-persoalan matematika, atau bahkan ke ilmu-ilmu lain yang hampir saya ubah ke dalam persoalan-persoalan matematika dengan memisahkan mereka dari semua prinsip ilmu-ilmu lain yang saya temukan tidak ajeg. Lalu, tampil tanpa hidup berbeda dari siapapun yang berminat hanya pada kehidupan yang disepakati dan diperiksa, maka saya melanjutkan rencana saya dan mengembangkannya dalam perumusan pencarian pengetahuan yang benar, lebih daripada jika saya hanya membaca buku-buku atau menghabiskan waktu saya dalam kelompok belajar.” (vi. 29 – 30)
Pernyataan di atas memperlihatkan karakteristik Descartes, yaitu: hanya sedikit membaca buku sepanjang hidupnya, dan meninggalkan sebanyak mungkin kelompok belajar.
Buku Rules for Guiding one’s Intelligence in Searching for the Truth yang akhirnya selesai pada tahun 1628 – tetapi baru dipublikasikan pada tahun 1701 – menjawab tantangan Descartes tersebut. Buku ini menjelaskan tentang 21 aturan untuk menertibkan pikiran. Jika dicermati, buku ini berisikan prinsip-prinsip Ilmu Logika yang pertama kali disusun oleh Aristoteles, yang diteruskan dalam aneka macam pemaknaan pelbagai filsuf Yunani lainnya maupun filsuf Muslim. Aristoteles menyusun Logika, menurunkannya dari risalah Metafisika-nya yang berisikan persoalan ontologi seperti: Tuhan, jiwa, intelek, imajinasi, memori, tubuh, dan lain sebagainya. Para Aristotelian seperti Alexander of Aphrodisias mereduksinya, hanya mengambil istilah-istilah yang dipahaminya saja, tetapi para filsuf Muslim yang juga Ilmuwan mengembalikan kepada maksud Aristoteles sebenarnya, tetapi lalu juga memberikan catatan kritis dan mensintesakannya dalam corak pengetahuan di zamannya.
Tampaknya, Logika juga memang menjadi pendahulu ilmu orang terdahulu, termasuk Galileo, meskipun nanti meninggalkannya, dan Bacon yang sempat menyusun Organon (Pengantar Logika) baru di tahun 1620.
Descartes mendiskusikan keterkaitan antara metode yang ada dengan berkesenian. Banyak orang menganggap, bahwa keahlian berpikir tersebut tidak berguna untuk membantu dalam bermain musik dan kesenian lainnya. Dan hal yang sama juga berlaku dalam Ilmu, tapi Descartes menyanggahnya.
Saran Descartes adalah, semua ilmu saling terkait dan memiliki ketergantungan. Ia menganalogikannya dengan sinar matahari yang menyinari beberapa benda pada tempat-tempat tertentu berdekatan. Jika memang orang ingin serius menyelidiki kebenaran suatu hal, maka hal paling masuk akal yang harus dilakukan adalah semakin meningkatkan cahaya penalaran yang dengannya kebenaran dapat ditemukan, dan itu melibatkan kemampuan bawaan yang sudah ditanamkan ke dalam diri kita. Karena itu pula, kita tidak boleh terganggu dengan spesifikasi keilmuwan seperti astronomi dan matematika yang tampak memiliki subjek materi yang berbeda. Para saintis jangan seperti orang buta yang melihat gajah. Jika ada aturan metodenya, maka hal itu merupakan investigasi yang membiarkan kita dengan bebas menemukannya sendiri, pertama kali dengan bantuan pikiran. Metode akan membantu seorang saintis untuk meningkatkan pengetahuannya sehingga mencapai pemahaman yang benar. Tanpa metode, ibarat orang yang sedang mencari harta karun di jalan, tapi kebingungan karena tidak sebenar tahu daerah tujuan sebenarnya di mana, sehingga hanya berharap keberuntungan semata.
Rumus simpel:
1. Mengumpulkan setiap pertanyaan yang muncul di kepala, lalu langsung mencari jawabannya. Begitu seterusnya. Jika intuisi pencarian tidak sedang berjalan, lebih baik berhenti dulu daripada melakukan kesalahan.
2. Mengobservasi dan melakukan eksperimen.
3. Selalu menghindari untuk menerima pendapat orang lain yang belum pasti benar sebelum ia sendiri yang menemukannya.
4. Tetapi, untuk memperoleh kepastian, kita harus menggunakan akal kita dengan menyelidiki apa yang telah ditemukan orang lain, dan secara metodis menyurvei bahkan produk-produk dari keahlian manusia yang paling tidak penting, terutama yang menunjukkan dan menampilkan keteraturan.
[2] Desmond M. Clarke, A Biography, UK: Cambridge University Press, 2006, p. 5.
[3] Elizabeth S. Haldane, Descartes His Life and Times, London: John Murray, 2009, P. 8
[4] www.wikiwand.com/en/Prytan%C3%A9e_national_militaire. Diakses pada 13 Agustus 2021.
[5] https://renesdescartes.weebly.com/. Diakses pada 13 Agustus 2021.
[6] https://en.wikipedia.org/wiki/Prytan%C3%A9e_national_militaire. Diakses pada 13 Agustus 2021.
[7] Tom Sorell, Descartes, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1994, p. 6.
[8] Ian Maclean, Descartes, Discourse on the Method, terj., New York: Oxford University Press,
[9] Desmond M. Clarke, A Biography, UK: Cambridge University Press, 2006, p. 5.
[10] Desmond M. Clarke, A Biography, UK: Cambridge University Press, 2006, p. 1.
[11] Tom Sorell, “Descartes, Saya Berpikir maka Saya Ada”, terj., Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1994, h. 8.
[12] Ian Maclean, Descartes, Discourse on the Method, New York: Oxford University Press, 2006, p. xxiv.
[13] AT VI, 6: CSM I, 113.
[14] Roger Ariew, Descartes among the Scholastic,