BAB I (Pendahuluan)

  1. Latar Belakang Penelitian

Berawal dari ketertarikan akan perbedaan jiwa zaman terkait karakteristik ilmu – karena ilmu merupakan panduan bertindak keseharian – hingga melihat maraknya akhir-akhir ini kajian tentang epistemologi ilmu dalam Islam, pertemuan ilmu dengan agama, yang mendapatkan titik kulminasinya dengan kemunculan Covid-19 yang bahkan dikaji dalam konteks agama. Peradaban yang disebut maju ini, modern, dijatuhkan oleh makhluk teramat sangat kecil yang tidak tampak dengan mata telanjang. Ketika ilmu mengalami koma, sebagian orang memilih untuk mensikapinya dengan pendekatan agama. Sebagian lagi ingin memilih seimbang untuk berdiri di antara keduanya, dengan terus mencari cara terbaik mensikapinya. Sementara sebagian lagi memilih mensikapinya hanya dengan pendekatan keilmuwan.

Tidak dapat dipungkiri memang, bahwa terciptanya pelbagai gagasan memunculkan teknologi yang mempermudah aktivitas dalam pelbagai bidang kehidupan. Tetapi, hal sedemikian pun muncul di setiap zamannya. Di setiap peradaban. Bersesuaian dengan  sekedar memenuhi kebutuhan hingga keinginan  yang tak ada habisnya. Pertanyaan muncul: kapan keinginan itu harus dihentikan? Melihat zaman modern di masa kontemporer ini, dengan eksploitasi habis-habisan terhadap sumber daya alam tanpa melihat keselarasannya dengan manusia yang malah menjauhkan manusia dari Tuhan dan kesejatian diri, apakah lantas dapat  sebenar disebut sebagai sebuah peradaban maju? Platon, seorang filsuf Yunani yang hidup sekitar tahun 428-347 SM mengatakan, bahwa suatu peradaban dianggap maju jika kembali kepada nature-nya. Nature, terkait dengan apa-apa yang menjadi karakter dasar suatu ciptaan bersesuaian dengan tujuan penciptaan tersebut, yang disematkan sejak di alam purba atau primordial.  Aristoteles, muridnya Plato, lantas mensistematisasikan rumusan keilmuwan tersebut dari tataran immaterial hingga ke penurunan aspek materialnya agar juga memiliki manfaat praktis.  Sejarah filsafat klasik hingga pertengahan, dapat kita lihat, selalu mengawali pembicaraan bidang keilmuwan apapun dengan konsep tentang hubungan antara manusia dengan penciptanya dan alam tempat segala entitas dirinya berada yang terentang sejak fisik, psikis, hingga ruhani.[1] Ilmu tidak meninggalkan Tuhan yang mencipta dengan tujuan tertentu.

Jejak keilmuwan Islam yang mengalami kegemilangan hingga enam sampai tujuh abad lamanya, dimulai sejak kemunculan seorang Nabi Muhammad saw. dengan al-Quran yang diturunkan secara bertahap selama 22 tahun 2 bulan 22 hari. Peradaban Islam merupakan peradaban yang kebudayaannya dibentuk oleh Al-Quran,[2] sehingga mempengaruhi pandangan hidup dalam pelbagai aspek kehidupan termasuk perumusan konsep keilmuwan dan teknologi.

Seyyed Hossein Nasr menyatakan, bahwa Al-Quran adalah ibu dari kitab-kitab (ummul kitab) yang bahasanya dimudahkan untuk tiap lapis akal manusia yang memiliki tingkatannya hingga ke tingkat tujuh (akal lahiriyah hingga ruhaniyah), merupakan prototype dari tulisan saintifik Islam yang menjadi teks sentral untuk pengkajian dan pengajaran ilmu-ilmu, yang memberikan insprirasi bagi para intelektual muslim untuk menyederhanakan dan memudahkan membahasakan ilmu agar gampang dipahami sehingga dapat diaplikasikan.[3]  Prinsip pertama filsafat pengetahuan dalam Al-Quran adalah manusia dianugerahi kemampuan untuk belajar dan memahami sesuatu, karenanya makhluk pertama yang Allah ciptakan adalah ‘aql, yang muncul sebanyak 49 kali di dalam Al-Quran dan selalu disajikan dalam bentuk aktif, bukan sekedar sebagai sesuatu yang abstrak. Al-Quran dengan tujuh lapis maknanya dapat dipahami sesuai dengan tingkatan pengetahuan manusia. ‘Aql terkait dengan ‘ilm (ilmu), yang, tidak terbatas dengan ilmu agama saja, yang sebenarnya tidak dapat dilepaskan kaitannya dengan ilmu-ilmu umum atau yang juga biasa diistilahkan sebagai ilmu dunia, karena praktis dalam kesehariannya, manusia tidak dapat dilepaskan dari unsur jasmani dan ruhaninya. Menurut Murtadha Muthahari, bahwa, “Kelengkapan dan finalitas Islam sebagai sebuah agama mengharuskan adanya pemanfaatan setiap bidang ilmu pengetahuan oleh masyarakat luas khususnya Muslim, sehingga ilmu pengetahuan apapun akan dianggap sebagai bagian dari ilmu keagamaan.”[4]

Para intelektual Muslim klasik hingga pertengahan  meyakini, bahwa sains merupakan upaya untuk memahami bagaimana cara ‘Tangan’ Allah bekerja. Bagaimana melihat tanda-tanda (ayat)-Nya,  karenanya dalam upaya merespon alam selalu terlebih dahulu mencari Kehendak (‘Irodah)-Nya di dalam Al-Quran, semisal kebutuhan penentuan arah shalat, kalender, pemandian umum yang sehat, makanan yang thoyib, dll. Ayat-ayat Al-Quran menunjukkan keteraturan fenomena alam sehingga bisa diprediksikan, yang dikatakan oleh Muzaffar Iqbal (Pakistan, 1956), bahwa Al-Quran juga memuat filsafat sains kosmologis, karena banyak ayat-ayat di dalam Al-Quran yang menggambarkan asal mula alam semesta beserta isinya.[5] Muhammad Iqbal (Pakisatan, 1877 – 1938) menyatakan, bahkan kajian dan deskripsi Al-Quran yang tak terbatas, memiliki metodologi dan epistemologi yang bisa bersifat empiris dan rasional.[6]

Paparan sejarah dan filosofi keilmuwan di atas, hanya secuplik dari luasnya khazanah keilmuwan Islam yang belum terangkat, yang mampu memotivasi banyak Intelektual Muslim kontemporer bahkan dari Barat yang berusaha untuk memadukan ilmu dengan agama seperti zaman Islam klasik hingga kontemporer.  Tetapi, yang menjadi persoalan sekarang, meskipun sudah banyak kajian yang menemukan, bahwa Al-Quran menyajikan pengetahuan yang lengkap meliputi filsafat pengetahuan, filsafat alam, dan filsafat Sains,[7] tetapi umat Islam masih sangat terbelakang dalam persoalan keilmuwan dan teknologi di zaman modern ini. Kesan yang ditinggalkan akhirnya, menunjukkan bahwa umat Islam sekedar menyukai romansa kegemilangan keilmuwannya, tanpa upaya nyata pengembangan dan peningkatan keilmuwan.

Sementara itu di Barat, keilmuwan modern tumbuh dan berkembang dianggap diawali oleh, berasal dari jargon cogito ergo sum Descartes, seorang Perancis kelahiran La Haye yang hidup pada tahun 1596 – 1650. Jargon “aku berpikir, maka aku ada”, yang merupakan terjemahan dari cogito ergo sum, ditafsirkan para tokoh modern sebagai rasionalitas yang memegang kendali atas segala hal. Manusia dan alam, dianggap sekedar bersifat mekanistis, tidak memiliki entitas lain seperti ruh dan jiwa yang mengalami persaksian akan Sang Pencipta di alam purba, sehingga perlakuan kepada keduanya tidak ubahnya seperti sebuah mesin, sehingga ilmu dipahami terbatas sebagai pengetahuan dunia fisik yang senantiasa berubah, memiliki prinsip rasional, empiris, dan spekulatif yang benar-benar materialistis. Tetapi apakah memang sebenar demikian pemaknaan atas maksud Descartes? 

Pembicaraan tentang Tuhan, ruh, jiwa, dan mind di zaman modern ini bahkan sudah dimulai oleh Descartes (La Haye, 1596 – 1650). Ia dianggap sebagai bapak filsuf modern karena merumuskan sistem filsafat baru yang belum pernah ada di zaman-zaman sebelumnya, bahkan juga masuk ke dalam pembicaraan sejarah psikologi. Jargon cogito ergo sum, “aku berpikir, maka aku ada”, “I think therefore I am” yang diperoleh Descartes, justru setelah mengalami tiga kali mimpi spiritual, yang kemudian dijadikan sebagai prinsip pertama filsafatnya, yang dari sana muncul anggapan orang bahwa Descartes sebagai seorang rasionalis dan mekanistik yang menganggap bahwa penggunaan akal fisik adalah segala-galanya, dengan panca indera sebagai jalan untuk menyampaikan informasi ke otak yang berisikan akal. C. G. Jung (Swiss, 1875 – 1961), seorang psikolog analitis yang mendasari perumusan teorinya dari kajian akan agama-agama, memiliki tafsiran tersendiri  terhadap Descartes, bahwa seorang saintis pun tak dapat lepas dari kehidupan setengah-mitologi, imaji-imaji arketipal, karena jargon “cogito ergo sum” nya diperoleh melalui kesadaran setelah bermimpi yang ditafsirkan spiritual. Tafsiran tersebut dapat kita telusuri dari contoh-contoh yang dinyatakan dalam beberapa buku Descartes.

Jargon cogito ergo sum terdapat di dalam Bab IV buku Discourses on the Method for Guiding one’s Reason and Searching for Truth in Sciences yang ditulis pada tahun 1637, dimaknai Descartes, bahwa tanpa adanya tubuh, saya bisa berpikir. Bahkan, keraguan saya merupakan bagian dari berpikir yang membuktikan bahwa “saya” ada.

“Saya ini adalah jiwa, yang terpisah dari tubuh. Bahwa yang saya tangkap dengan jelas dan gamblang adalah suatu kebenaran, tetapi masih terdapat kesulitan untuk menyebutkan dengan jelas apa saja yang saya pahami, karena saya masih terus diliputi oleh keraguan. Saya ragu, itu karena saya tidak sempurna, dan pasti ada yang lebih sempurna daripada saya. Dia yang tak pernah ragu, yaitu Tuhan.”

Aku berpikir, maka aku ada. Jawaban itu diperoleh karena Descartes senantiasa berada di dalam keraguan akan sesuatu persoalan; mengapa tak pernah berada dalam kebenaran mutlak? Karena kebenaran mutlak hanya milik Tuhan. Tidak ada yang pasti, selain pengetahuan yang berasal dari Sang Ilahi. Begitulah kehidupan harus dijalani, mendapati keputusan-keputusan yang berdasarkan pengetahuan Ilahi. Hal itu sangat besar, tidak akan dapat ditemukan di dalam buku-buku.

Buku Descartes yang lain, Meditations on First Philosophy, mendetilkan persoalan di atas dengan pembahasan tentang substansi materi, self, dan Tuhan. Hal tersebut memunculkan gagasan tentang metode dalam pencari kebenaran yang dimulai dengan keraguan dan skeptisisme, dualisme (perbedaan ilmu akal dengan Mind (akal dengan tidak lebih tinggi: akal hati), dan Tuhan.

Buku Meditations on First Philosophy in which are Demonstrated in the Existence of God and the Distinction Between the Human Soul and Body sebenarnya ditulis Descartes sejak tahun 1930, setelah menyelesaikan buku Rules for Guiding one’s Intelligence in Searching for the Truth pada tahun 1628 (dipublikasikan tahun 1971), tetapi baru diselesaikan tahun 1941. Descartes bermaksud terutama untuk menguraikan bukti adanya Tuhan dan jiwa-jiwa ketika tercerai dari tubuh, dan dari perpisahan itu akan dicapai kehidupan kekal. Di dalam pengantarnya, Descartes menuliskan,

“Saya sudah tersentuh bertahun-tahun sebelumnya oleh pertanyaan terkait Tuhan dan jiwa (Latin= Sufle, Perancis= L’âme) manusia, yang saya tuangkan dalam “Discourses on the Method of Rightly Conducting One’s Reason and of Seeking for Truth in the Sciences” dan dipublikasikan di Perancis pada tahun 1637. Tetapi saya tidak bermaksud memperlakukan keduanya dengan cara seperti yang ada di dalam buku itu, melainkan hanya sebagai pengantar, agar saya dapat belajar dari tanggapan para pembaca bagaimana seharusnya kedua persoalan tersebut ditangani dengan benar. Karena bagi saya, kedua persoalan tersebut tampak sangat penting sehingga saya menilai bahwa saya harus mengulas keduanya lebih daripada satu kali. Dan saya mengikuti sebuah jalan dalam menyelidiki mereka. Sebuah jalan tak terduga, dan begitu jauh dari pengalaman orang pada umumnya, yang saya pikir tidak akan berguna dijelaskan dengan lebih lengkap dalam bahasa Perancis agar dapat dibaca semua orang, seandainya mereka yang memiliki pikiran-pikiran (Latin= cugetele, Perancis= pensées) yang lebih (Latin= mai, Perancis= plus) lemah (Latin= slabe, Perancis= faibles) harus bisa berpikir (Latin= crede, Perancis= penser) bahwa mereka juga harus diizinkan untuk mengambil jalan seperti saya.”

Di dalam Bab VI, Descartes memaparkan dua alasan agar manusia selalu meragukan segala sesuatunya, yaitu:

“Pertama, bahwa segala sesuatu yang aku percaya secara inderawi (sensasi) ketika terbangun, terkadang juga aku rasakan ketika tidur, karena aku tidak percaya bahwa apa yang aku lihat ketika tidur berasal dari sesuatu di luar diriku.

Kedua, ketika aku masih mengabaikan Pengarang eksistensiku, maka aku tidak melihat alasan mengapa aku tidak dapat menjadi disusun oleh sesuatu yang bukan menjadi nature-ku atau yang menipuku, bahkan dalam hal yang tampaknya benar.

Sensasi-persepsi tidak tergantung pada kehendakku, melainkan aku berpikir bahwa bahwa aku seharusnya tidak menyimpulkan bahwa mereka berasal dari sesuatu yang berbeda dari diriku, karena barangkali termasuk ke dalam bagian dari beberapa fakultas diriku yang memproduksi mereka.

I am really distinct from my body, and can exist without it

More I better to know myself, more I better to know my Author.”

Descartes menekankan, bahwa, adalah dengan mengenal-Nya memang merupakan solusi atas keraguan-keraguannya yang membuat ia tidak mampu dengan jelas melihat kepastian dan kebenaran dari semua pengetahuan.

“Pemikiran saya tentang Allah yang benar. Sebelum saya mengenal Dia, saya tidak bisa mengetahui hal lain dengan sempurna. Tetapi sekarang, saya dapat dengan jelas dan pasti mengetahui hal-hal yang tak terhitung banyaknya, tidak hanya tentang Tuhan dan makhluk mental lainnya, tetapi juga tentang sifat benda-benda fisik, sejauh itu adalah pokok bahasan matematika murni.”

Informasi-informasi dari buku dan internet menyatakan, bahwa pendapat-pendapat Descartes tersebut banyak bersumber dari Imam al-Ghazali (Iran, 1058 – 1111),[8] seorang yang lebih dikenal sebagai seorang sufi daripada filsuf, karena serupa dengan yang pernah dikatakan oleh Imam al-Ghazali dalam buku-bukunya. Buku “Al-Munqidz min adh-Dhalal” (Deliverance of Error= Pembebas dari Kesesatan) karya Imam Ghazali, sebuah kitab yang menjadi inspirasi bagi pemikiran Descartes dalam beberapa bukunya seperti “Discourse on the Method for Conducting One’s Reason Lightly and Searching for Truth in Sciences“. Dikatakan juga, bahwa kemungkinan Descartes juga terpengaruh oleh buku Revival of Religious Sciences (Ihya ‘Ulumuddiin) dan Kimiyatus Sa’adat Imam al-Ghazali yang membagi empat jenis pengetahuan, yaitu pengetahuan akan diri, pengetahuan akan Tuhan, pengetahuan akan dunia fisik, dan hari akhir, sebagaimana yang dinyatakan Descartes, “But perhaps even though the senses do sometimes deceive us when it is a question of very small and distant things”, dalam buku Meditations on First Philosophy.

            Informasi-informasi dari internet tersebut barangkali mulai bermunculan dan berkembang sejak tanggal 30 Juli 1976 ketika surat kabar Al-Ahram memuat reportase pertemuan kesepuluh Pemikiran Islam di Aljazair, yang salah satunya memuat berita bahwa Utsman al-Ka’ak,  seorang sejarawan Tunisia, menemukan, bahwa jargon cogito ergo sum Descartes didapatkan dari buku al-Munqidh min adh-Dhalal yang ditulis oleh Imam al-Ghazali. Sebelumnya, Utsman al-Ka’ak diminta oleh Doktor Muhammad Abdul Hadi Abu Ridah, seorang ilmuwan Mesir, untuk mengadakan kajian tentang hubungan antara pendapat Descartes dengan Imam al-Ghazali, yang dilakukan dengan mengadakan kajian di dalam perpustakaan pribadi Descartes di Paris. Di sana ditemukan terjemahan-terjemahan buku Imam al-Ghazali yang beberapa pernyataannya digarisbahawi merah oleh Descartes, seperti “Keraguan adalah peringkat pertama dari keyakinan,” yang lalu diberi komentar oleh Descartes, “Pindahkan ini ke dalam metode kita.”[9]

Data ini perlu diselidiki lebih jauh dan dalam, agar sebenar diketahui kebenarannya untuk kepentingan penurunan keilmuwan yang akan memberikan koreksi atas beberapa salah paham dari maksud Descartes yang ditangkap oleh banyak ilmuwan modern. Miris rasanya, ketika banyak buku Descartes termasuk “Meditations on First Philosophy” yang menjadi inspirasi bagi terbukanya pemikiran tentang keilmuwan modern disalahpahami, padahal isinya tentang Metafisika, yang di dalam Islam diistilahkan sebagai al-‘Ilm al-Ilahiyah.

Dari paparan di atas, tampak, bahwa sejarah keilmuwan sejak zaman Plato, Aristoteles, Islam, bahkan Descartes, dimotivasi oleh maksud-maksud religius. Pengidentifikasian maksud-maksud tersebut berikut tikungan dan balikannya, memberikan kebutuhan besar untuk merapatkan hubungan antara ilmu pengetahuan dengan agama yang menjadi karakteristik dari peradaban maju, sebenarnya. Bagaimana paradigma berpikir mereka semua menjadi tereduksi atau terdistorsi, barangkali tidak terlepas dari aspek sosiologis, politis, dan lain-lain yang tidak terkait langsung dengan keilmuwan itu sendiri, tetapi fatal akibatnya. C. G. Jung dalam buku The Spirit in Man, Art, and Literature mengungkapkan:[10]

“Universitas-universitas telah berhenti bertindak sebagai penyebar cahaya. Orang-orang lelah dengan spesialisasi, rasionalisme, dan intelektualisme saintifik. Mereka sebenarnya ingin mendengarkan kebenaran-kebenaran yang diperluas dan bukannya dibatasi, yang tidak mengaburkan melainkan menerangi, yang tidak melewati mereka seperti air lalu berlalu begitu saja, melainkan menyelusup hingga ke sumsum. Pencarian ini hanya mungkin membawa hasil yang besar jika kita merasa terus tersesat, karenanya terus mencari.”

Akhirnya, menjadi perlu bagi kita untuk menyusuri jalan, bukan hanya dikarenakan untuk mengetahui sejauh apa pengaruh ide-ide tertentu agama dalam mempengaruhi motivasi terhadap minat ilmiah para ilmuwan yang juga seorang spiritualis, melainkan juga untuk mengetahui, jika, seandainya terdapat model antagonis antara ilmu dan agama yang tampaknya terkait dengan baik di Eropa, sebagai etos keilmuwan yang layak, yang, berlaku juga dalam peradaban Islam. Hari ini, sejarah sains seringkali dianggap sebagai akumulasi progresif dari pelbagai teknik dan perbaikan metode kuantitatif, yang akan menentukan validitasnya. Tetapi, sekaligus akan memeriksa sudut pandang keilmuwan klasik – pertengahan dengan standar keilmuwan modern.[11]

Penggambaran yang detil akan sejarah dan proses perkembangan ilmu dalam konteks sejarah dan filsafat ilmu peradaban Islam dan Barat sangat diperlukan, agar terkuak sumber-sumber saintifiknya, sehingga mampu menggambarkan dengan fakta bagaimana proses motivasi dan kebangkitan tersebut melahirkan disiplin-disiplin ilmiah tertentu; bagaimana silang analisa dan sintesa pelbagai pemikiran yang bermain di dalamnya.   Keseluruhan penelitian jejak-jejak sejarah ini, dibimbing oleh kebutuhan untuk menjelaskan fakta-fakta sejarah dan ilmiah yang diperoleh dari pelbagai khazanah dengan ragam agama dan budaya yang luas. Selalu berharap bahwa, siapapun yang bertugas dalam disiplin-disiplin keilmuwan yang lain, akan juga mampu menarik kesimpulan-kesimpulan umum, yang diperoleh dalam konteks pendekatan metodologi baru dari sana, sehingga diharapkan menjadikannya alat untuk menguji data yang telah mereka ketahui dari disiplin-disiplin yang tengah mereka geluti. Dengan pendekatan ini, memungkinkan untuk mengkonstruk ulang perkembangan-perkembangan dalam disiplin dan untuk memeriksa, hampir pada setiap sudut, motivasi-motivasi di balik terobosan yang memakan waktu panjang sejarah keilmuwan.

Perumusan Filsafat Ilmu Descartes sebagai Jembatan Keilmuwan Islam dan Barat menjadi judul dari penelitian ini. Sebagaimana  judulnya, diharapkan melalui perumusan filsafat ilmu Descartes, keilmuwan Islam dan Barat mencapai titik temunya, karena selain terdapat dugaan Descartes juga mengambil sumber-sumber keilmuwannya  dari Imam al-Ghazali, maka tidak menutup kemungkinan akan membuka sumber-sumber keilmuwan Islam lainnya; juga untuk membuka lewat celah  atau di bagian mana keilmuwan Descartes disalahpahami oleh keilmuwan modern dan bagian-bagian tertentu yang memberi manfaat bagi keilmuwan modern.

2. Perumusan Masalah Penelitian

Penelitian ini berada dalam cakupan Sejarah, perbandingan agama, dan Filsafat Ilmu yang tidak lepas dari Filsafat Agama, karena itu permasalahan yang dirumuskan sebagai berikut:

  1. Biografi Descartes
  2. Mencermati perkembangan gagasan Descartes melalui karya-karyanya sekaligus mencermati kesalahpahaman orang terhadap gagasan-gagasan Descartes
  3. Para ilmuwan yang mempengaruhi gagasan Descartes
  4. Perumusan Filsafat Ilmu Descartes
  5. Aplikasi Filsafat Ilmu Descartes terhadap Hermeneutika Al-Qur’an

3. Tujuan Penelitian

Penelitian ini memiliki tujuan, yaitu:

  1. Praktis, yaitu akademis terkait penyelesaian disertasi dalam konsentrasi Filsafat Agama dengan bidang lebih spesifik yaitu Filsafat Ilmu yang terkait erat dengan cara pandang masyarakat dalam memaknai hubungan ilmu dengan agama.
  2. Teoritis, yaitu untuk menjawab pertanyaan penelitian, sehingga menampakkan signifikansinya bagi masyarakat terutama para ilmuwan.

4. Kegunaan Penelitian

Penelitian yang menghasilkan perumusan filsafat ilmu baru yang akan menjadi jembatan dari keilmuwan Islam dan Barat diharapkan memiliki kegunaan:

  1. Mampu menguak sumber-sumber saintifik Islam sehingga mampu menggambarkan dengan fakta bagaimana proses motivasi dan kebangkitan yang melahirkan analisa dan sintesa pelbagai sumber keilmuwan tersebut mampu melahirkan disiplin-disiplin ilmiah tertentu.
  2. Memungkinkan untuk mengkonstruk ulang perkembangan-perkembangan dalam disiplin keilmuwan pada masa ini.
  3. Menemukan pendekatan metodologi baru dalam pencari kebenaran, sejak pencarian sumber-sumber atau data-data yang layak menjadi fakta, sehingga diharapkan memperoleh hasil penelitian yang lebih mendekati kebenaran.
  4. Menyatukan keterpecahan antara Ilmu dengan Agama

5. Bibliografi Descartes

Pada tahun 1964, penerbit The Gague Martinus Nijhoff, menerbitkan penelitian Gregor Seba, ilmuwan dari Institute of the Liberal Am., Emory University. Sebuah buku yang merupakan repository dari karya-karya Descartes, baik yang ditulis oleh Descartes sendiri maupun karya-karya Descartes yang dianalisa oleh orang lain. Buku itu berjudul Bibliographia Cartesiana; A Critical Guide to Descartes Literature (1800-1960). Penelitian tersebut dibantu oleh tim editorial dari berbagai negara: Editor in Chief: P. Dibon (Nmeguen) and R. Popkin (University of California, San Diego). Editorial Board: J. Collins (St. Louis Univ.); A. Crombie (Oxford); I. Dambska (Cracow); H. de la Fontaine-Verwey (Amsterdam); H. Gadamer (Heidelberg); H. Gouhier (Paris); T. Gregory Rome); T. E. Jessop (Hull); A. Koyre (Paris); P. O. Kristeller (Columbia Univ.); S. Lindroth (Upsal); P. Mesnard (Tours); J. Orcibal (Paris); I. S. Revah (Paris); G. Sebba (Emory Univ., Atlanta,.); R. Shackleton (Oxford); J. Tans (Groningen); G. Tonelli (Pise). Secretaries: P. Golliet (Nimeguen) and Elisabeth Labrousse (Paris).

Hasil penelitian selama 15 tahun tersebut menawarkan sebuah perangkat baru bagi kajian Cartesian. Di dalamya terdapat daftar buku yang ditulis oleh Descartes maupun komentar dan analisa orang terhadap karya-karya Descartes sepanjang 160 tahun. Disusun berdasarkan abjad (Bab II), yang dikombinasikan dengan sebuah survei yang sistematik dan analitik (Bab I) dan topik-topik terkait buku-buku (Bab III). 

Pengaturan sedemikian memungkinkan untuk meluaskan manfaat bibliografi: dari sekedar repository referenasi-referensi menuju sebuah workshop penelitian. Survei yang sistematik pada Bab I dan indeks topik pada Bab III, menawarkan poin-poin (mise au point) pada kajian-kajian Descartes sepanjang sejarah dan jangkauan topik beserta perubahan-perubahan pemahaman yang dievaluasi yang pernah dibahas hingga tahun 1964. Tentunya pada abad ke-22 ini, akan lebih banyak lagi topik yang dihasilkan. 

Buku-buku Descartes yang berbahasa aslinya Perancis, diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa, tetapi saya menggunakan terjemahan berbahasa Inggris yang merupakan hasil terjemahan dari ahli yang memang mengkaji Descartes. Sebagai perbandingan pada penggunaan istilah-istilah kunci, saya menggunakan edisi berbahasa Latin dan Perancis. Istilah morale selalu merujuk pada filsafat moral Descartes, tidak sama dengan etika menurut para filsuf lainnya. Istilah methode, lebih daripada sekedar metode dan metodologi yang kita pahami sekarang. Conscience merujuk pada maksud orang Perancis jika menyebutkan awareness, self-awareness, Selbstbewusstsein, autocoscienza), bukan dalam maksud orang Inggris untuk tujuan menyebutkan salah dan benar. Ame dan volonte and libre-arbitre merujuk pada jiwa (soul), will (volonto), free will (libre-arbitre); pensée merujuk pada berpikir, pemikiran, mind, pemahaman, atau thinking-self. Connaissance d'autrui tidak diterjemahkan sebagai esse dan nosse atau lumen naturale.
 Menurut Seba dalam pendahuluan buku tersebut, bahwa sebagian besar bibliografi yang disusunnya menunjukkan, bahwa banyak penulis tentang Descartes tidak pernah membaca apa-apa yang ditulis oleh orang lain tentang Descartes. Faktanya, dari dulu sampai sekarang, istilah seperti cogito Cartesian dipahami sama tahun demi tahun. Namun meskipun begitu, terdapat sejumlah peneliti Descartes yang rasionalis maupun antirasionalis, yang memiliki tujuan ingin menunjukkan gagasan-gagasan Descartes apakah benar atau salah. Para sejarawan filsafat dan pemikiran, penulis biografi, editor dan yang bergerak dalam bidang hermeneutika, tidak begitu tertarik akan pembuktian kebenaran atau kesalahan gagasan, konsep, ataupun teori Descartes. Saya sendiri bergerak sebagai seorang sejarawan filsafat sekaligus penulis biografi dan penafsir (hermenetikus), sehingga bibliografi ini, memang ditujukan untuk orang seperti saya. Saya menjadikan beberapa buku sebagai acuan penelitian saya, baik yang akan dipergunakan dalam tahapan heuristik maupun kritik sumber.  

Selain Imam al-Ghazali, yang secara langsung dipelajari oleh Descartes, juga terdapat kontribusi khazanah tak langsung dari pelbagai Ilmuwan Muslim lainnya seperti Al-Kindi, Al-Farabi, Ikhwan al-Shafa, Ibnu Sina, Ibnu Rusyd, bahkan Ibnu Arabi yang didapatkan dari buku beberapa tokoh Kristen abad Pertengahan, seperti Thomas Aquinas dan Ramon Lully, yang  membaca buku-buku para ilmuwan Muslim.

Berikut contoh buku dan jurnal yang memaparkan kontribusi ilmuwan Islam terhadap Pemikiran Barat Pertengahan – Awal Modern:

  1. Guido Giglioni, Renaissance Averroism and Its Aftermath, International Archives of the History of Ideas Internationales.
  2. Anthony Kenny, The Rise of Modern Philosophy; A New History of Modern Philosophy, Vol. 3.
  3. Hulya Yaldir, Ibn Sina (Avicenna) and Rene Descartes on the faculty of Imagination, British Journal for History of Philosophy, 17 (2) 2009: 247  –  278. https://www.tandfonline.com/doi/full/10.1080/09608780902761679?scroll=top&needAccess=true
  4. Alma Jeftic,  Ethics and Dualism in Contemporary Psychology: From Avicenna and Descartes to Neuroscience,  Journal of Transdisciplinary   Studies,  Epiphany: Vol. 7, No. 1, 2014 ISSN 1840-3719.
  5. Saud M. S. Al Tammy, Averrous, Kant, and the Origins of the Enlightenment, Reason and Revelation Arabic Thought.
  6. Peter Adamson, Fedor Benevich, The Thought Experimental Method Avicenna’s Flying Man,  Journal of the American Philosophy Association, Cambridge of University Press, Volume 4 Issue 2, Summer 2018, pp. 147 – 164.
  7. Ethics and Dualism in Contemporary Psychology from Avicenna and Descartes to Neuroscience.

Geneologinya bagaimana, berawal dari kesenangan Descartes untuk bepergian ke banyak negara Eropa demi maksud mengadakan penelitian untuk melihat cara berpikir orang. Buku yang selalu dibawanya adalah injil dan Thomas Aquinas, yang memang banyak belajar dari para ilmuwan Muslim. Saya juga bisa memahami maksud dari tulisan yang Descartes sampaikan di buku atau risalah Treatise on Man dan The Passions of the Soul, dari dukungan pembacaan yang lebih dulu sudah saya lakukan kepada para ilmuwan Muslim seperti  al-Farabi, Ikhwan al-Shafa, dan Ibnu Sina, bahkan Aristoteles. Dua buku itu saja yang tampaknya akan mudah untuk disalahpahami karena pembahasannya langsung kepada persoalan entitas-entitas yang dimiliki oleh seorang manusia; struktur dan dinamikanya, sejak persoalan fisik, psikis, hingga entitas lebih halus daripada keduanya.  

6.  Teori dan Metodologi Penelitian

Penelitian ini menggunakan studi Sejarah dan Filsafat Ilmu yang menelaah pemikiran Descartes yang diambil dari buku-buku Descartes dan penelusuran para tokoh yang mempengaruhinya. Buku-buku yang dipergunakan adalah buku yang sudah diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris maupun Bahasa Indonesia dengan komparasi buku berbahasa Perancis dan Latin, serta Arab.

7. Langkah-Langkah Penelitian

Sebelum melakukan penelitian, ada beberapa hal yang menjadi pertimbangan awal peneliti untuk mengangkat suatu topik menjadi objek penelitian, yaitu:

  1. Minat terkait upaya membuka kedirian sebagai orang Islam berdarah Jawa, tapi lama di Sumatra.
  2. Keterhubungan penulis dengan ilmu lain yang akan digunakan sebagai ilmu bantu dalam menulis historiografi.
  3.  Kemampuan dan kesempatan (kemudahan memperoleh data dan eksplorasi).
  4. Kemanfaatan bagi diri sendiri dan masyarakat
  5. Masih sedikit orang yang menelitinya, bahkan tampaknya belum ada. 

Ketika keempat syarat terpenuhi, maka motivasi untuk melakukan penelitian akan besar. Peneliti dalam hal ini memilih Descartes sebagaimana sudah peneliti jabarkan di dalam latar belakang penelitian tesis ini.

Penelitian sejarah tidak terlepas dari subjektivitas peneliti, tetapi tetap sangat memerlukan objektivitas, karena itu dalam melakukan penelitian, peneliti mengambil langkah-langkah yang berada di dalam standar penelitian sejarah, yang dibantu oleh ilmu Filsafat Sejarah serta memanfaatkan hasil terjemahan signifikan dari para ahli yang memang berkecimpung dalam karya-karya Descartes. Data-data yang diperoleh perlu dikumpulkan, dibaca dengan cermat, dan saling dikaitkan, sebagai data awal, termasuk penelitian terdahulu berupa skripsi, tesis ataupun disertasi, serta buku-buku terkait untuk menunjang informasi yang dibutuhkan, karena suatu penelitian harus memiliki informasi terdahulu atau referensi.

Dalam rangka kepentingan tersebut, berikut langkah-langkah kerja yang penulis lakukan:

Tahap I: Heuristik, yaitu berupa pengumpulan sumber, baik lisan maupun primer. Namun, pada penelitian ini, saya hanya menggunakan sumber tulisan baik berupa sumber primer dari buku-buku berbahasa Perancis maupun sekunder hasil terjemahan ke dalam bahasa Inggris dari ahli yang memang pengkaji Descartes dan beberapa terjemahan berbahasa Indonesia, saya mulai pelajari. Saya menyusun poin-poin dan bagannya dari setiap gagasan utamanya. Mungkin bukan dipelajari sebenarnya, tapi masih tahap pengumpulan data dari pernyataan demi pernyataan yang terdapat di dalam buku-bukunya untuk melihat gambaran “Siapa sebenarnya Descartes ini?” Masih tahap awal, tetapi cukup menentukan langkah selanjutnya. Saya juga menggunakan beberapa buku biografi Descartes hingga kronologis penulisan buku-bukunya, untuk melihat tahapan gagasan atau pemikiran Descartes.

Setelah itu, saya berupaya membaca detil satu persatu buku-buku Descartes, dan menemukan hal-hal yang memang bertolak belakang tentang Descartes yang selama ini saya dengar.

            Lalu, hal apa yang terlupakan dari setiap pengkaji Descartes, sehingga apa yang mereka temukan berbeda dari saya? Atau jangan-jangan saya yang salah memahami Descartes? Bahwa memang sebenarnya Descartes itu orang yang benar-benar rasional dan mekanistik? Ataukah hal yang wajar saja di masa manapun, bahwa setiap teori akan ditafsirkan berbeda?

Karenanya, berdasarkan hal itu maka saya menganggap perlu untuk melakukan tahap selanjutnya dalam upaya pengkajian terkait Descartes dan keilmuwannya.

Tahap II: Kritik, yaitu pencarian sebanyak-banyaknya buku-buku yang pernah membahas tentang Descartes untuk melihat kemungkinan adanya data-data tentang perbedaan cara pandang orang terhadap Descartes.

  1. Roland Barthes, seorang filsuf analitik dan matematika, dalam buku History of Philosophy menderetkan beberapa pemahamannya tentang proposisi-proposisi  yang diajukan Descartes, yang diistilahkan sebagai inkonsistensi Descartes.[12] Inkonsistensi Descartes ini yang nantinya menimbulkan beberapa perbedaan pemahaman orang terhadap Descartes. Asal usul inkonsistensi ini barangkali dapat ditelusuri dari upaya Descartes sebagai seorang yang mengenyam pendidikan filsafat skolastik di Jesuit College yang didirikan oleh King Henry IV, La Fleche, yang sekaligus merupakan tempat belajar matematika paling bagus seantero dunia di masanya, untuk menyatukan metafisika dengan sains: bagaimana Tuhan, jiwa, dan alam berinteraksi. Dan tujuannya adalah untuk membuktikan kebenaran adanya Tuhan dan jiwa di dalam ciptaan-Nya. 
Proposisi DescartesPembacaan Roland Barthes
Satu
a.“Aku” berpikir, maka “Aku” ada, yang merupakan inti dari filsafat Descartes         

b.“Aku” adalah sesuatu yang  berpikir        




Dua
Dualisme Descartes: Jiwa terpisah dari Tubuh: ”Tubuh tidak menggerakkan jiwa Vs.   Mengapa jiwa merasa sedih ketika tubuh kesakitan? analogi dua jam.  

Tiga
Jiwa manusia dapat dengan kemauan, mengubah arah ruh-ruh.  

Satu
a. Secara gramatikal, penggunaan “Aku” sangat tepat, tapi tidak menggambarkan data.  

b. Menggunakan dalil skolastik –> Tidak kritis menggunakan serangkaian kategori yang diciptakan skolatistik. Descartes tidak membuktikan bahwa pemikiran-pemikiran membutuhkan seorang pemikir, juga tidak ditemukan alasan untuk mempercayainya. Di lain pihak, menganggap Descartes lebih menghargai pemikiran daripada objek eksternal.  

Dua
Menganggap sebagai kelemahan     dalam  sudut pandang religius.        



Tiga
Menurut Barthes, hal ini berkebalikan dengan inti sistem yang dipahami Barthes, yaitu hukum ilmu mekanika/ mesin (deterministik) –> para Cartesian kesulitan menjelaskan kehendak bebas., sehingga menyederhanakan maksud Descartes= materialisme, mekanistik  

Luar biasanya, ternyata cukup banyak yang mengkaji Descartes sebagai seorang Metafisikawan, selain berupaya merumuskan Logika Descartes dari pernyataan-pernyataan dalam buku-buku Descartes terutama dalam buku Rules for the Direction of the Mind dan Discourse  on the Method dengan tambahan buku seperti Geometri, Optik,  dan The World sebagai aplikasi penggunaan Logika Descartes. Perumusan Filsafat Ilmu Descartes belum banyak yang mengkaji, saya temukan hanya satu buku dan satunya dari online plato.standford.edu. Filsafat Ilmu itu krusial, yang justru menunjukkan keseluruhan sudut pandang (point of view) keilmuwan Descartes.

Menurut saya, Filsafat Ilmu terdiri dari pertama, Ontologi, yang berbicara tentang hirarki realitas, chain of being, emanasi yang dalam Islam dan abad pertengahan dibicarakan dalam kosmologi tradisional. Persoalan ini termasuk dari bagian Metafisika. Kedua, menurut saya, aksiologi, terkait persoalan etika dan estetika, bagaimana menempatkan diri dengan benar sebagai pusat semesta dalam berhubungan dengan Tuhan, setiap entitas kedirian (mikrokosmos), dan semesta (makrokosmos).Terakhir, baru epistemologi, terkait dengan pertanyaan-pertanyaan seperti apa itu ilmu? Siapa subjek dan objek ilmu? Bagaimana cara memperoleh ilmu? Jika Filsafat Ilmu sejak awal sudah bergerak dalam pengkajian Metafisika, Hirarki Realitas, lalu perlakuan yang benar, tentunya setiap jawaban atas pertanyaan epistemologis tidak akan melewati batas kepentingan kedua area tersebut. Sayangnya, dan ntah sejak kapan, tidak banyak lagi orang yang memandang Filsafat Ilmu itu terdiri dari tiga area tersebut, melainkan telah hanya mengambil area epistemologisnya saja dengan penguatan pada metode empiris dan pengukuran inderawiyah.

Di dalam keilmuwan Islam yang baru-baru ini merebak lebih banyak, agak sebaliknya. Lebih banyak pembahasan Metafisika, dengan meninggalkan area aksiologi dan epistemologi terutama hal pengukuran, padahal para ilmuwan Muslim menurunkan ilmunya hingga ke tataran praktis. Melihat hal tersebut, saya jadi tertarik untuk ikut merumuskan Logika dan Filsafat Ilmu Descartes, di samping sudah pernah juga mempelajari sedikit secara umum Logika al-Farabi dan Ibnu Sina, termasuk juga Imam al-Ghazali, sekalian mau diperbandingkan. Barangkali nanti akan ikut mengangkat kembali keilmuwan Islam, atau mensintesanya. Tujuan jangka panjangnya, dapat diterapkan dalam langkah-langkah penafsiran Al-Quran, yang justru di zaman sekarang, Al-Qur’an malah dijadikan legitimasi atas pemikiran yang salah. Wallahu a’lam.

            Lalu, apakah memang keterpecahan area Filsafat Ilmu zaman Modern, dengan hanya mengambil bagian epistemologisnya saja, yang mengakibatkan Descartes dipandang sebagai Rasionalis dan Mekanistik? Ataukah ada penyebab lain? Bagaimana sosiologi ilmu itu sendiri berkembang? Topik demikian tampaknya perlu menjadi bahasan juga.

Tahap III: Penafsiran atas Descartes. Mencermati buku-bukunya, Descartes sendiri apakah sebenarnya lebih cocok dibilang sebagai metafisikawan, mistikus, atau filsuf dibandingkan ilmuwan, karena penjelasan-penjelasan keilmuwannya suka aneh dan tidak jelas, berbalut metafisika, dan sebaliknya? Tetapi juga, alih-alih dianggap sebagai keduanya, teori kosmologinya tentang pusaran, bahwa di sekeliling matahari terdapat pusaran amat besar di tempat yang penuh segala zat, yang membawa planet-planet mengelilingi matahari, memanggil orang untuk menganggapnya sebagai ateis. [13]  Makanya di zamannya sendiri (abad 16 – 17 M), di saat filsafat Aristoteles dipegang oleh kebanyakan sekolah yang diatur oleh gereja, filsafat skolastik (bernuansa agama), ia memiliki pendukung sekaligus penentang. Tetapi Descartes pun di dalam buku  Discourse on Method, menyatakan kekhawatirannya bahwa nanti ia akan disalahpahami orang, karena itu sebelum matinya, ia berupaya untuk meluruskan maksud-maksudnya.

8. Daftar Pustaka

Anwarudin Harapan, “Diskursus “Keraguan Metodis dalam Pokok Ajaran-ajaran al-Ghazali dan rene Descartes”, E-Journaul UIN Jakarta, 1995.

Campanini, Massimo, Qur’an and Science: a Hermeneutical Approach, Journal of Qur’anic Studies, 7/ 1, Edinburgh University Press, 2005.

C. G. Jung, Spirit in Man, Art, and Literature, Bollingen Series XX, USA: Princeton University Press, esai yang diterbitkan tahun 1957.

George, N. Atiyeh, ed. The Book in the Islamic World, USA: State University of New York Press, 1995.

Guessoum, Nidhal, Islam dan Sains Modern, Bandung: Mizan Media Utama, 2014.

Hamdi Yaqzuq, Al-Ghazali: Sang Sufi, Sang Filosof, Bandung: Pustaka Salman, ITB, 1987.

Iqbal, Muzaffar, Islam and Science, UK: Ashgate Publication, 2002.

M. M. Sharif, ed. a History of Muslim Philosophy, with Short Accounts of other Disciplines and the Modern Renaissance in Muslim Lands, Germany: Allgaeuer Heimatverlag GmbH, 1966.

Nasr, Seyyed Hossein, Science and Civilization in Islam, Chicago: ABC International Group, Inc., 2001.

Rene Descartes, Discourses on the Method for Guiding one’s Reason and Searching for Truth in Sciences,

Rene Descartes, Meditations on First Philosophy in which are Demonstrated in the Existence of God and the Distinction Between the Human Soul and Body, USA: Cambridge University Press, 1985.

Rene Descartes, Rules for Guiding one’s Intelligence in Searching for the Truth, 1701.

Sumber Internet

Muhammad Afiq Zahara Munawwir, Imam al-Ghazali dan Descartes. https://www.academia.edu/6605067/Al_Ghazali_dan_Rene_Descartes_Kesangsian_Metodis_, diakses 11 Agustus 2020. 


[1] Sharif, M. M., ed. a History of Muslim Philosophy, with Short Accounts of other Disciplines and the Modern Renaissance in Muslim Lands, Germany: Allgaeuer Heimatverlag GmbH, 1966, p. 1244 – 1245.

[2] Campanini, Massimo, Qur’an and Science: a Hermeneutical Approach, Journal of Qur’anic Studies, 7/ 1, Edinburgh University Press, 2005, p. 1.

[3]  Atiyeh, George, N., ed. The Book in the Islamic World, USA: State University of New York Press, 1995, hal. 59.

[4] Guessoum, Nidhal, Islam dan Sains Modern, Bandung: Mizan Media Utama, 2014, hal. 115.

[5] Iqbal, Muzaffar, Islam and Science, UK: Ashgate Publication, 2002, p. 89.

[6] Guessoum, Nidhal, Islam dan Sains Modern, Bandung: Mizan Media Utama, 2014, hal. 121.

[7] Guessoum, Nidhal, Islam dan Sains Modern, Bandung: Mizan Media Utama, 2014, hal. 113.

[8] Hamdi Yaqzuq, Al-Ghazali: Sang Sufi, Sang Filosof, Bandung: Pustaka Salman, ITB, 1987; lihat juga Muhammad Afiq Zahara Munawwir, Imam al-Ghazali dan Descartes; Beranjak dari Keraguans, h. 4, s Contoh sumber-sumber dari internet.  https://www.academia.edu/6605067/Al_Ghazali_dan_Rene_Descartes_Kesangsian_Metodis_, diakses 11 Agustus 2020. 

[9] Anwarudin Harapan, “Diskursus “Keraguan Metodis dalam Pokok Ajaran-ajaran al-Ghazali dan rene Descartes”, E-Journaul UIN Jakarta, 1995, h. 28.

[10] C. G. Jung, Spirit in Man, Art, and Literature, Bollingen Series XX, USA: Princeton University Press, p. 77,  esai yang diterbitkan tahun 1957.

[11] Nasr, Seyyed Hossein, Science and Civilization in Islam, Chicago: ABC International Group, Inc., 2001, p. 21.

[12] Roland Barthes, Sejarah Filsafat Barat, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007, h. 738 – 745.

[13]Roland Barthes, Sejarah Filsafat Barat, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007, h. 738 – 745. Lihat penjelasan lebih lanjut dalam buku “The World (Treatise on the Light)” Descartes.

Iklan
Kategori:

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s