Pusat kerajaan berpindah-pindah dimulai dari Galuh, lalu ke Pakuan Pajajaran, Kawali, lalu berakhir di Pakuan Pajajaran (Bogor). Hingga abad ke-11, berpusat di Pakuan Pajajaran, lalu ke Kawali, lalu Pakuan Pajajaran lagi.
Setelah menjadi raja selama 7 tahun, Prabu Maharaja ke Jawa. Hayam Wuruk, yang baru dinobatkan jadi raja Majapahit tahun 1350, meminta putri Prabu Maharaja, Dyah Pitaloka, untuk menjadi istrinya. Tetapi, Patih Gaja Mada menghendakinya dengan cara diberikan sebagai uopeti. Prabu Maharaja tidak bersedia, dan akhirnya terjadi Perang Bubat, dengan kematian Prabu Maharaja.
Kerajaan Sunda lalu diperintah oleh Niskala Wastu Kancana yang masih kecil, dengan bantuan dipegang oleh Hyang Bunisora selama beberapa tahun hingga Niskala Wastu Kancana dewasa.
Niskala Wastu Kancana digantikan oleh Sang Ratu Jayadewata dengan pusat kerajaan di Pakuan Pajajaran.
Meskipun pusat kerajaan berpindah-pindah, tetapi tidak pernah ada kevakuman kekuasaan. Ketika Kerajaan Sunda runtuh di Pakuan Pajajaran, di Galuh masih memerintah Prabu Cipta Sanghyang di Galuh, putra Prabu Haur Kuning.
Ketika Pakuan Pajajaran diislamkan oleh Banten, Galuh diislamkan oleh Cirebon.
Putera mahkota Galuh, Ujang Ngekel, ingin memperistri putra Maharaja Kawali yang bernama Tanduran di Anjung. Ujang Ngekel yang masih beragama Hindu disuruh masuk Islam oleh Sultan Cirebon. Islam dikembangkan di Cirebon ke Galuh melalui Maharaja Kawali.
Setelah Prabu Cipta Sanghyang wafat, Ujang Ngekel naik tahta dan berkedudukan di Gara Tengah. Ketika wafat, anaknya, Adipati Panaekan menggantikannya sebagai penguasa Galuh.
[1] Nina H. Lubis, Sejarah Kota-kota Lama di Jawa Barat, Bandung: Alqa, 2000, h. 13.