1. Kerajaan Salakanagara

Bismillaahirrahmaanirrahiim.

12 Romadhon 1442 H, 10.58.

Sabtu, 24 April 2021.

  1. Lokasi Salakanagara dalam Geographike Hypeghesis Ptolemeus: Argyre?

Begitu sedikit referensi tentang Kerajaan Salakanagara. Kebanyakan mengemukakan, bahwa kerajaan tertua di Nusantara adalah Kerajaan Tarumanagara.

Menuju situs Kerajaan Salakanagara di Pandeglang, sungguh mata disuguhi pemandangan yang menakjubkan. Bagiku, anak kota berjiwa desa ini. Hamparan sawah, pegunungan mengelilingi, dan barisan pepohonan: terbanyak pohon kelapa dan pisang.

Batu-batu besar mulai tampak tebarannya pada beberapa area, meskipun tidak terlalu banyak.

Di area pusat situsnya, kolam berisikan ikan mujair berukuran besar dan pepohonan berukuran besar aneka jenis, menambah kesegaran tersendiri.

Di sini, mulai banyak tumpukan dan  jejeran batu besar.

Tak ada bentuk bangunan utuh  apapun yang terbuat dari batu serupa. Bahkan setengah, seperempat, seperdelapan utuh sekalipun. Hanya ada dua bangunan modern, yang aku tidak tahu apa itu dan sebuah bangunan lain yang di dalamnya, menurut tradisi lisan masyarakat, terdapat makam Aki Tirem atau biasa juga dipanggil Syekh Wali Jangkung atau Angling Dharma.

Dekat dari makam, ada sebuah kolam cukup besar yang diyakini masyarakat sebagai kolam pemandian dari Aki Tirem.

Tersebutlah di dalam buku Geographike Hyphegesis karya Claudius Ptolemeus  (100 – 168 M), seorang matematikawan, astronom, geographer, dan astrolog Yunani (sekarang Mesir), yang ditulis sekitar tahun 150 M, kata “Labadiou atau Jabadios” yang artinya pulau padi, sangat kaya, subur, dan banyak mengandung perak dan emas.[1] Claudius membuat peta berdasarkan 
tulisan geografi dari Starbo (27 – 14 SM) dan Plinius (akhir abad pertama masehi) untuk menggambarkan jalur pelayaran dari Eropa ke Cina melalui: India,  ujung utara Sumatra, lalu menyusuri Pantai Barat Sumatra, Pulau Panaitan, Selat Sunda, terus melalui Laut Tiongkok Selatan sampai ke Cina (Yogaswara, 1978: 21-38). 

Labadiou sendiri merupakan ucapan bahasa Prakrit, yang dalam bahasa Sanskerta berarti Yawadwipa. Penyebutan Yava atau Yavadvipa (Jawadwipa) di dalam Ramayana Valmiki,[2] juga berarti gandum. Saat itu, juga dikenal sebagai penghasil gandum, dan kaya akan emas dan perak,[3] serta terdapat tujuh kerajaan.[4] Bangsa Eropa mengenal  istilah Jabadios yang berasal dari kata Jaba, dan Dib, Div, atau Dio, dan kemungkinan di Asia dikenal dengan nama Jawa,  Jawi, atau Jaba.[5]

Ptolemeus menambahkan, ada Kota “Argyre” yang berada di ujung Pulau Labadiou. Argyre sendiri artinya perak, yang dalam bahasa Sundanya sama dengan perak. Dan begitu banyak versi tafsiran akan lokasi sebenarnya Argyre.

 Ir. Moens dalam bukunya “Rekonstruksi Sejarah Indonesia” berpendapat, bahwa Argyre ada di Semenanjung Malaysia. Sedangkan Warsito Sastroprajitno berargumen, bahwa awalnya, Argyre berada di India, lalu mengalami beberapa kali perpindahan: ke Muangthai, lalu ke Semenanjung Malaysia, hingga ke Kalimantan Utara. Berikutnya, dia menganalisa Prasasti Canggal 732 M, bahwa Argyre berpindah ke Pulau Jawa, tepatnya Cirebon. Tetapi, ternyata hipotesa masih terus berlanjut. Prasati Kota kapur yang ditemukan di Bangka mengungkapkan, bahwa Argyre pecah menjadi dua jurusan: bagian Selatan dan ke muara Sungai Brantas. Nama daerah Bojong Galuh Cirebon, dimaksudkan sama dengan nama Ujung Galuh daerah delta Sungai Brantas. Pendapat tersebut mengambil referensi dari Poerbatjaraka yang menyatakan, bahwa istilah Galuh berarti perak. Berpindahnya Kerajaan Tarumanagara ke Cirebon, pun dihubungkan dengan nama Gunung Ciremai, yang, sekilas terdengar penyebutannya sama dengan Taruma.

Masih banyak pendapat lain termasuk berita dari Cina. Disebutkan, sebuah daerah bernama Ko-ying, memiliki jarak 3000 li dari Ssu-tiao (Jawa). Sebelah utara-nya, terdapat gunung berapi dan di teluk sebelah selatannya terdapat P’u-lei. Ini berarti, bahwa letak Ko-ying harus berada di daerah pantai Tenggara Sumatera. Berita Cina lainnya yang bertarikh tahun 250 M menyebutkan sebuah daerah Tu-po yang memiliki lafal berdekatan dengan Cheu-po, yang bahasa Sanskerta-nya berbunyi Yava.

Wolters dalam bukunya Early Commerce menjelaskan, bahwa lukisan tentang Argyre sama dengan lukisan berita Cina tentang Ko-ying, sayangnya ia terpaksa menempatkan Ko-ying di bagian tenggara Sumatera karena:

  1. Di sebelah utara Ko-ying, menurut berita yang dikutipnya, ada sebuah gunung api.
  2. Di sebelah selatan Ko-ying terdapat sebuah teluk bernama Wen dan di teluk ini terdapat sebuah Chou (pulau atau daerah pesisir) bernama Pulei.

Wolters sebenarnya masih belum pasti akan dugaan di atas, karena itu ia memberikan catatan, bahwa letak Ko-ying yang sebenarnya belum dapat dipastikan, dan bahkan mungkin Ko-ying terletak di Jawa Barat, melihat adanya Gunung Merapi dan Gunung Dempo di sekitar tempat yang pernah menjadi lokasi Ko-ying. Ia juga meletakkan Ko-ying di bagian tenggara Sumatera, sehingga menguatkan dugaan bahwa Ko-ying memang terletak di Jawa Barat.

Saleh Danasasmita mencoba untuk melanjutkan penelitian Wolters. Pada waktu itu, Wolters kurang memperhitungkan keberadaan Gunung Krakatau yang sebelum meletus (1883) berbentuk sebuah pulau vulkanik yang utuh sehingga pada abad ke-17 orang Jawa Barat menyebutnya Nusa Api (apuynusa). Jika Wolters mengambil pantai barat Pandeglang untuk meletakkan Argyre, maka ia akan menemukan kondisi serupa Gunung Krakatau di sebelah utara (barat laut). Sisanya, barangkali ia akan memilih pulau atau daerah pesisir yang mungkin memenuhi lokasi Pu-lei. Lalu, terpenuhilah persyaratan lokasi Ko-ying sama dengan Argyre. Kesimpulan: Yeh-tiao sama dengan  Labadious atau Yavadvipa dan nama Tiao-Pien sama dengan Dewawarman.

Pada kenyataannya, di Pandeglang terdapat tiga gunung yang dikeramatkan: Gunung Karang, Gunung Pulosari, dan Gunung Aseupan.

Gunung Karang adalah gunung berapi yang memiliki tinggi 1778 Mdpl, dan terletak di tengah-tengah Kota Pandeglang. Sewaktu-waktu bisa meletus, sehingga tidak kebayang bagaimana nanti keadaan masayarakat jika itu terjadi. Gunung ini indah sekali. Puncaknya disebut sebagai Sumur Tujuh karena memiliki tujuh sumber mata air dan hutan hujannya ditumbuhi oleh anggrek. Di gunung ini pula dimakamkan Pangeran Tb. Jaya Raksa. Skip saja dulu, ya, siapa beliau. Belum ada literatur akurat untuk dapat ditampilkan sebagai referensi cerita.

Gunung Pulosari dengan ketinggian 1346 ini memang menyimpan banyak sejarah hingga Abad ke-16 M. Menurut Direktur Bantenologi, Helmi Faizi Bahrul Ulumi, Gunung Pulosari menjadi gunung suci tempat mandala dalam kosmologi masyarakat Hindu. Mengingat Gunung Pulosari juga menjadi tempat penyiaran dakwah Islam oleh Sunan Gunung Djati dan anaknya, Mawlana Hasanuddin, Sultan Banten pertama dari istri Sunan Gunung Djati bernama Nyai Kawung Anten, anak dari Surosowan (anak dari Sri Baduga Maharaja, Prabu Siliwangi) dengan istrinya, Kentrik Manik Mayang Sunda, anak dari Prabu Susuk Tunggal, Raja Kerajaan Sunda, barangkali memang di sana pernah menjadi tempat suci sekaligus tempat berdirinya sebuah kerajaan yang selalu memegang prinsip mandala.

Berita dari Cina lagi, bahwa Dinasti Han memang pernah berinteraksi dalam urusan perdagangan dengan Kerajaan Salakanagara, bahkan Salakanagara pernah mengirimkan utusan ke Cina pada abad ke-3.

Sumber lain dari Abdur Rahman, bahwa sebenarnya lokasi yang tepat sebagai pusat Kerajaan Salakanagara masih belum pasti: apakah Pandeglang (Banten), Condet (Jakarta), atau di lereng Gunung Salak di Bogor.

Berdasarkan sumber dari naskah Wangsakerta yang ditulis oleh Pangeran Wangsakerta dari Keraton Kasepuhan Cirebon pada abad ke-17, tepatnya pada bagian Pustaka Rajya Rajya i Bhumi Nusantara, dijelaskan, bahwa wilayah kekuasaan Salakanagara mencakup Jawa bagian barat, termasuk semua pulau yang terletak di sebelah barat Pulau Jawa.[6] Pusat Kerajaan Salakanagara bernama Rajatapura di Teluk Lada, Pandeglang, Banten,  sebagai kota paling tua di Pulau Jawa (Abdur Rahman, dkk., Carita Parahiyangan Karya Pangeran Wangsakerta, 1991:57). Rajatapura sendiri diduga beribukotakan di Ciondet (Condet), karena dikatakan bahwa Salakanagara adalah kerajaan yang pernah dikenal sebagai pusat perdagangan terpenting di Asia, sebagaimana halnya Condet yang hanya berjarak 30 km ke arah utara dari bandar niaga Sunda kelapa. Di daerah sini juga mengalir Sungai Tiram, yang diyakini berasal dari nama Aki Tirem, mertua dari Dewawarman I, pendiri Kerajaan Salakanagara (Abdurrahman Misno & Bambang Prawiro, Reception Through Selection-Modification, 2016:327). Pembauran aneka suku bangsa dan negara yang bertebaran di Pelabuhan Sunda Kelapa yang menghasilkan pernikahan, nantinya menurunkan kaum Betawi.

Dugaan yang muncul bahwa Salakanagara dibangun di lereng Gunung Salak, itu dikarenakan seringnya lereng tersebut berwarna keperak-perakan ketika diterpa sinar matahari (Ensiklopedi Jakarta: Culture & Heritage, Volume 3, 2005:71). Kemiripan istilah “Salaka” dengan “Salak” menjadi pendukung. Menariknya, pada perkembangannya nanti, lereng Gunung Salak justru menjadi tempat berdirinya kerajaan-kerajaan Sunda lainnya. Penduduk mayoritas Salakanagara adalah mereka yang kemudian dikenal sebagai orang-orang Sunda.

Sebelum sampai pada pengisahan tentang para raja Salakanagara, aku mau mencoba memperkuat dulu data bahwa Salakanagara memang berada di Pandeglang, atau barangkali juga meluas hingga ke Condet dan Bogor. Dan data tersebut aku coba tarik dari prinsip-prinsip kehidupan suku asli Banten: Baduy.


[1] Ptolemeus, Claudius. 1932. The Geography. Penerjemah dan editor Edward Luther Stevenson. New York: Dover Publications, Inc. p. 157. Dalam buku Vlekke, H. M. Bernard. 2008. Nusantara, Sejarah Indonesia, Jakarta: KPG, h. 19, Labadius diterjemahkan sebagai Jabadiur.

[2] Valminki, Ramayana, p. 687. An island searched by the monkeys for Sita and RavanL.

[3] Raffles, Thomas Stamford F. R. S. 1830. The History of Java. London: John Murray, Albermarle-Street, p. 4.

[4] Valmiki. 1952, p. 274.

[5]  Raffles, Thomas Stamford, Sir. 1830, p. 3.

[6] https://tirto.id/salakanagara-kerajaan-sunda-tertua-di-nusantara-cyVP

Iklan

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s