Bismillaahirrahmaanirrahiim.
Catatan Ngaji Naskah yang diampu oleh pak Ahmad Baso, dengan pengeditan di sana-sini.
Sabtu, 30 Oktober 2021, Pk. 16-18.

Naskah Sunan Bonang ini merupakan naskah tertua yang menggunakan kertas daluang, tersimpan di Leiden University Libraries. Dibawa oleh orang Belanda pada waktu ke Jawa pada tahun 1556. Diperoleh di Sedayu atau Gresik. Mereka melaporkan, mendapatkan naskah di pesisir Jawa Timur. Sampai ke Belanda, 1597, lalu ke perpusatkaan Leiden tahun 1602. Leiden berdiri tahun 1500 an. Awalnya masuk di kelompok naskah Jepang pada tahun 1800 an, karena dikira dari jepang. Terpelesetkan kata Japan dengan Jawa.
Kondisinya hingga sekarang, 400 lebih, masih bagus. Kertasnya kering, tidak lembab, sehingga bisa kita pegang, padahal ini kertas daluang, yaitu dari Pohon Sae. Kasar, dipergunakan di Jawa sebelum mengenal kertas dari Eropa. Selain dari pelepah lontar/ kropak.
Naskah ini menunjukkan aksara model para Jawa. Beberapa aksara rekan (adaptasi dari Arab, ada tambahan titik tiga, dll istilah yang terkait dengan Arab, pesantren, nama-nama kitab, dll).
Kalau kita mau masuk ke koleksi naksah Perpustakaan Leiden, yang ditanya adalah kode/ kategori internasionalnya. Misal LOR. atau OR. 1928. Berjumlah sebanyak kurang lebih 180 halaman.
Kita bisa mengetahui identitas penulis naskah, biasanya diletakkan pada halaman terakhir naskah.

Bandingan model aksara Sunan Bonang dengan aksara pada prasasti dari Singasari pada tahun 1280

.
Model cakra-nya naik ke atas. Pasangan ma nya sama dengan yang dipergunakan di dalam naskah-naskah Walisongo.

Ada istilah “cinitra (diceritakan)” — di Jawa tidak ada istilah sedemikian — kata yang digunakan di Melayu Pasai, itu dikarenakan Sunan Bonang pernah menjadi murid di Pasai. Masih banyak istilah Melayu akan dilihat nantinya. Hal ini menunjukkan sangat terbukanya dunia Jawa untuk dimasuki oleh dunia Melayu. Bahkan di naskah Makasar ada utusan yang dikatakan sebagai nakhoda Bonang. Ketika ditanya identitas dirinya, dijawab, “Kami mewakili bangsa Melayu.”


Nama pangeran ing Benang, kita coba cek dengan naskah sezaman. Ketika itu belum ada istilah “Sunan”. Naskah yang juga menyebut “Pangeran” Benang, sebelumnya sudah diceritakan dalam naskah Babad Cerbon yang mengambil babon dari riwayat Mawlana Hasanuddin. https://wordpress.com/post/dwiafrianti.home.blog/207

Seringkali pemberian nama para wali diambil dari nama tempat, misalnya Benang, itu merupakan daerah di Tuban, tempat Sunan Bonang pertama kali berdakwah. Nama sebelumnya beliau adalah Ibrahim, dari bapaknya, Sunan Ampel yang berasal dari Campa, sementara ibunya Sunan Bonang berasal dari Tuban.
Dalam penulisan naskah, para wali berupaya memperkenalkan bacaan Arab dengan memasukkannya ke dalam aksara Jawa Hanacaraka. Misal, aksara nga diberikan titik tiga di sebelah kiri, dibaca ‘Ain. Penentuan seperti itu hilang setelah masuk kolonialisasi, diubah pengucapannya, seperti dari syari’at menjadi sarengat. Pelajaran bahasa Jawa sekarang tidak ada aturan titik tiga.




Orang Majapahit zaman itu sudah terbiasa dengan “Bismillahirrahmaanirrahiim.”
Ketika menggunakan medium naskah dengan aksara Hanacaraka, maka hal itu sekaligus mengangkat kejawaan dan keislaman. Wayang juga nantinya akan terangkat.

Setelah “Bismillaahirahmanirahim”, dibuka dengan “Wabihinasta’in.”

Penggunaan istilah dirga, itu berasal dari Bali. Jadi pada zaman majapahit, mereka memberikan bentuk dirgahayu pada kata yang panjang. Istilah “dirgahayu” berarti “panjang” umur. Istilah dirgahayu juga terdapat di dalam naskah Hikayat Pasai.

Para wali bisa meletakkan pangkon (tanda mati, yang ditebalkan dengan spidol biru) di tengah-tengah kalimat, yang dalam naskah Jawa pada umumnya diletakkan pada akhir kalimat. Tanda yang diberi garis lengkung spidol hijau merupakan huruf nga yang diberi titik tiga.
Ada dua model pengislaman di India:
1. Arabisasi, tidak mengakar Islamnya
2. Model para sufi, yang diikuti oleh para wali, mengakar Islamnya. Menggunakan aksara sanskerta, tamil, dll literasi yang dipergunakan di India

Wassalaamu’ala Rasuu (su panjang, karena ada tanda mad thabi’i) lihi Muhammadin. As habihi (h) ajma’in.

Sekhul Barri, murid Sunan Bonang, disebut dalam naskah Selayar. Sunan Bonang pernah menulis dengan menggunakan nama muridnya yang mengajarkan agama Islam kepada orang Jawa.

Jadi riwayatnya, Sekh Barri yang menurunkan ilmunya Sunan Bonang. Sekh Bari ke Makasar untuk berdakwah setelah Sunan Bonang meninggal. Dalam naskah Makasar, Sekh Bari disebut sebagai Nakhoda Bonang, yaitu muridnya Sunan Bonang. Sekh Barri beserta Dato ri Bandang menyebarkan Islam di Makasar. Juga terdapat bukti dalam naskah Bali, bahwa Sunan Giri juga berdakwah di Makasar.

Sumber: https://www.historyofcirebon.id/2018/10/sunan-bonang-guru-sunan-kalijaga-yang.html

Sumber: https://www.laduni.id/post/read/68296/strategi-datuk-ri-bandang-mengembangkan-dakwah-di-sulawesi
Dalam Hikayat Tanah Hitu, disebutkan ada tiga orang dari Tuban yang mengislamkan orang Maluku. Jika menyebutkan Tuban, itu terkait dengan Sunan Bonang. HItu mencakupo wilayah Ambon dan pulau-pulau sekitarnya.


Kutipan naskah Hikayat Hitu:
“Al-Kisah mengatakan bangsa Jawa, maka diceritakan orang yang empunya cerita, tatkala Raja Tuban dinaikkan kerajaan, maka tiyada ia bersetia dan mupakat dengan kawm keluwarganya. Maka suatu kawm dua ratu dari seorang kyai… dan seorang saudaranya perempuan Nyai Mas. Ia naik ke serta ke kapalnya, membawa dirinya mencari tempat kedudukannya. Hatta, ingin dengan Kehendak Tuhan Yang Maha Tinggi, dibawa oleh angin arus datang ke Tanah Hitu. “
Penyebutan “Raja” Tuban di sini bukan dalam arti penguasa politik, tetapi pemimpin seperti “Mawlana”, yaitu pemimpin komunitas Muslim. Penggunaan istilah “tatkala” berasal dari bahasa Melayu, dan dipergunakan dalam penulisan naskah-naskah para wali songo. Di Jawa, istilah “dinaikkan kerajaan”, diterjemahkan sebagai jumeneng ing Benang. Ada ulama perempuan yang dikirm dari Jawa, yaitu Nyai Mas., bersaudaraan dengan Dawu/ Dawud (belum jelas nama yang benarnya siapa).
Konflik yang pernah ada di Tuban, peristiwa dan waktunya sama dengan konflik yang ada di Giri, yaitu pada era yang sama dengan Sunan Giri Dalem (II). Menurut laporan dari Tome Pires pada tahun 1514, ketika itu di Pesisir, sisa-sisa Majapahit, yang pangkalannya ada di Daha, menyerang Pesisir. Naskah Gresik juga menyebutkan hal tersebut. Mereka kemudian menyingkir ke Indonesia Timur: bertebar masuk ke Makasar dan Maluku.
Naskah Hikayat Tanah Hiti juga menyebutkan, bahwa setelah Islam masuk ke Makasar dan Maluku termasuk Hitu, maka banyak masyarakatnya yang belajar Islam ke Tuban dan Gresik, serta Jepara.

Sama dengan yang terdapat di dalam naskah Bali, murid-muridnya Sunan Giri disebut dengan wargi. Pada naskah Sunan Bonang, murid-muridnya disebut sebagai mitra. Di Sulawesi, mitra bisnis disebut sebagai kalula, yang berasal dari istilah yang sama dengan “kawula”, tetapi lebih diartikan sebagai keluarga daripada hamba. Orang Makasar dan Bugis menerjemahkan mitra, wargi (Bali), kaluwargi/ a, dengan anaguru (santri). Istilah-istilah tersebut yang — menginspirasi — nantinya dipergunakan oleh Ki Hajar Dewantara untuk menyebutkan istilah “kulawargi, kulamargi (keluarga)”, termasuk ketika menerjemahkan istilah “wa a’a aalihi lan marang kulawargane” yang terdapat di dalam naskah-naskah para wali. Bukan penggunaan istilah “kawula (hamba)” yang dipergunakan, tapi dalam arti mitra atau wargi, yang ditujukan untuk posisi murid dari para wali sebagai keluarga sendiri. Prinsip ekonomi Indonesia yang dirumuskan berdasarkan kulawargi, mitra, kekeluargaan, bukan buruh. Bagi hasil bagi rata (keuntungan), prinsip musarakah, bukan berdasarkan gaji. Menurut laporan Hepner ketika menemui orang Madura yang sedang menggarap tanah orang lain, ditanya, “Kalian sedang apa?” Mereka menjawab, “Kami sedang nyantri.” Menggarap tanah ini dalam proses musarakah (mitra) dengan pemilik modal. Di Makasar diistilahkan sebagai minawang. Di Arab, ada juga istilah musarakah, tetapi tidak diterjemahkan sebagai mitra.
Naskah bisa didonlot di sini:
- Naskah Sunan Bonang
1 Comment