Begitu banyak pendapat tentang di mana letak Zabaj sebenarnya. Kita coba mengupasnya sedikit. Al-Biruni (Uzbekistan, 973 – 1050 M) di dalam Kitab Tahdid Nihayat al-Amakin, menjelaskan pembagian daerah di bumi dengan menggunakan keshvars Persia Kuno yang terdapat di dalam Avesta.[1] Keshvars diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris sebagai seven ‘climes’ (tujuh iklim), yang menurut al-Biruni lebih tepat diterjemahkan sebagai tujuh area, yang selain dibagi berdasarkan kedekatan letak geografis, juga memiliki kebudayaan, tradisi, dan moralitas yang mirip,[2] sehingga pembagian area tersebut diistilahkan oleh Seyyed Hossein Nasr sebagai “geografi sakral”.[3]

Keshvars sudah dipergunakan sejak masa Sasania (224 – 651 M), memiliki keterkaitan dengan pembagian tujuh Dwipa dalam kosmologi Purana India[1] dan Ramayana yang ditulis Valmiki[2] sekitar abad 200 – 500 SM. Semua naskah memasukkan Zabaj ke dalam area India. Al-Biruni menuliskan Zabaj sebagai “Pulau pulau timur ( … ) yang lebih dekat dengan Cina daripada India”. Juga menyebutkan, “Pulau pulau Zabaj yang dinamakan Suwarndib di India, yaitu Pulau pulau Emas”.[3]
Para penulis Arab, menggunakan istilah Zabj atau Zabaj (زبج) untuk kemaharajaan Maharaja, yaitu kemaharajaan Dinasti Sailendra. Raja Zabaj bernama Maharaja, dan emas merupakan salah satu pendapatan negerinya. Daerah di bawahnya penghasil kamper. Mas’udi (abad ke-10 M), menuliskan “Zabaj yang memisahkan Cina dan India” dan “Maharaja, Raja Kepulauan Zabaj”. G. R. Tibbetts menyatakan, bahwa istilah Zabaj dalam bahasa Arab, di India dikenal dengan istilah Javaka, dan itu dipakai di India untuk menyebutkan Jawa, tapi lalu dipergunakan untuk Kemaharajaan Sriwijaya. Orang Arab menyebut kemaharajaan tersebut dengan istilah Sribuza, sedangkan orang Cina menyebut She-p’o, Javaka disebut sebagai San-fo-ci, serta Zabaj dan Shih-li-fo-shih untuk Sriwijaya.
Pemberian istilah Maharaja bukan didapatkan sembarangan tanpa persyaratan apapun. N. J. Krom dalam karyanya Hindoe-Javaansche Geschiedenis menjelaskan persyaratan yang dibuat oleh orang Arab-Persia: Tempat yang dapat disinggahi bagi para pedagang yang melaut, sangat terbatas, karena harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: merupakan pusat yang mencapai tahapan peradaban tertentu, memenuhi tuntutan tuntutan geografis tertentu, mempunyai tempat berlabuh yang terlindung baik seperti di muara sungai, dan dermaga yang aman. Keadaan demikian memunculkan persaingan yang harus dimenangkan dengan mengimbangi para pesaing atau menjadikan mereka wilayah pemerintah bawahan, agar tetap dapat mengendalikan perdagangan di selat selat dengan cara menonjolkan pengaruhnya di kedua tepinya.
Orang Arab-Persia kerap menceritakan, bahkan berulang ulang, tentang Maharaja yang memerintah Kalah, Semenanjung Tanah Melayu di utara Tanah Genting Kra, sekaligus Sribuza, yang dapat diartikan sebagai Sriwijaya, Palembang, atau Sumatera. Berikut salah satu contoh yang ditulis sekitar tahun 916 M:[1]
“Kota Zaabag terletak berhadapan dengan Negeri Cina. Jarak antara keduanya ditempuh dalam satu bulan pelayarana, bahkan kurang jika angin membantu. Raja kota itu dikenal dengan nama Maharaja. Menurut kata orang, luasnya 900 parasange (sekitar 6, 25 km). Raja itu sekaligus berdaulat atas banyak pulau yang terbentang sejauh 1000 parasange lebih. Di antara negeri negeri yang diperintahnya, terdapat pulau bernama Sribuza, dengan luas 400 parasange dan pulau bernama Rami (Aceh), yang memiliki luas 800 parasange. Wilayah yang juga milik Maharaja adalah negeri maritim Kalah yang terketak di tengah tengah jalan antara Cina dan Negeri Arab. Ke pelabuhan itu lah datang kapal kapal dari Oman, dan dari pelabuhan itu pula berangkatlah kapal kapal dengan tujuan Oman. Kewibawaan Maharaja berlaku di pulau pulau itu. Pulau tempat tinggal Maharaja memiliki tanah yang subur dengan pemukiman yang padat. Seseorang yang kesaksiannya dapat dipercaya melaporkan, bahwa apabila ayam ayam jago negeri itu mulai berkokok pada dini hari, seperti di Arab, maka mereka akan sahut bersahutan di dalam negeri yang terbentang hingga 100 parasange lebih, karena desa desa bersebelahan satu dengan lainnya dan berkelanjutan tanpa henti”.
Sumber dari Ngaji Naskah Jawi Melayu yang diampu oleh Ahmad Baso pada 18 September 2021 menyatakan,

Salah satu penyebutan Zabaaj, ada di dalam buku yang ditulis oleh Yaqut al-Humawi sekitar abad ke 9-11.
Zabaaj: sebuah pulau terjauh dari pulau-pulau di hindia. Nusantara juga disebut al-Hind. Jadi hindia itu ada hindia depan dan ada hindia belakang. Hindia depan adalah India. Hindia belakang adalah Nusantara. Terletak di belakang Laut Harkan (Samudera Hindia), berbatasan dengan Sind (Cina).
Adanya kata “sebuah pulau”, sebagian orang mengasumsikan bahwa Zabaaj adalah Sumatera termasuk Sriwijaya. Tetapi data dari Yaqut al-Humawi menunjukkan, bahwa Zabaaj adalah semua pulau dan negara yang berbatasan dengan Cina. Campa sampai ke Jawa disebut sebagai Zabaaj juga. Al-Zanj (Afrika) juga disebut oleh al-Humawi sebagai Zabaaj.
Yaqut al-Humawi juga menyebut al-Jawah: negeri ini kaya akan biji-bijian. Kalau menuju ke Cina, untuk menuju ke sananya harus menempuh laut yang sangat berbahaya. Jazirah Sailan (Srilangka) disebut sebagai Sarandib. Sebutan Sarandib sebenarnya dutujukan untuk Nusantara, dari kata Swarnadwipa, tetapi lama kelamaan Sarandib menjadi Sailan.
